Beragam
cara Tuhan memanggil hambaNya untuk datang ke baitullah, rumahNya. Ada
yang dibuatnya kaya, sehingga bisa berangkat haji dengan hartanya. Walau kadang
ia menunggu dalam waktu yang cukup lama. Namun, tak semua yang milioner
juga pergi ke sana. Sebaliknya, ada juga yang tak miliki limpahan harta,
tapi dapat juga menginjakkan kaki di sana.
Farhan
contohnya (bukan nama sebenarnya). Teman kantor saya yang baru tahun lalu
bergabung dengan kami. Ia hanya seorang pemuda yang tak begitu istimewa.
Body tak begitu perkasa, wajah tak tampan juga. Malah, untuk orang yang
melihatnya kali pertama, ada kesan arogan dan belagu menempel erat di
dirinya. Saya pun merasakan hal yang sama terhadapnya. Gaya jalannya
seolah diatur agar terlihat mempesona. Pakaiannya selalu rapi juga, terlihat
lipatan bekas setrika. Belum lagi parfumnya yang semerbak wanginya.
Hingga
suatu ketika, saya melihatnya tampil di muka, untuk membaca seuntai doa pembuka
acara. Gelegar suara seraknya, seolah memang sedang meminta kepada Tuhan
pencipta. Terasa sejuk di dada. Tak pelak ada beberapa hadirin yang terkadang
larut mendengarnya, hingga meneteskan air mata. Tak hanya sampai di sana,
ia juga bisa memberikan ceramah agama. Di beberapa kesempatan saya hadir
mendengarnya. Penyampaiannya sederhana. Namun, mengena. Mulai dari para
pimpinan hingga ibu-ibu muda tampak terkesima. Saya mengira, sebab ia tahu
kelebihannya membuat ia berbangga dan muncul sombongnya.
Perkiraan
saya salah ternyata. Siang itu saya bertemu dengannya selesai shalat di
mushala. Memang, saya dulu yang menyapa.
"Assalamualaikum,
ustaz Farhan", ujar saya.
"Waalaikumussalam,
abang. Panggil Farhan aja" sambil melempar senyum ia menjawabnya.
"Maaf,
dengan abang siapa?" Ia balas bertanya.
"Oh
iya, saya eMDe" jawab singkat saya.
Obrolan
kami berlanjut dalam waktu lama. Hampir sejam bercengkrama. Ada kenyamanan yang
terasa. Hal ini pun mengikis buruk sangka yang selama ini ada. Ternyata,
Ia ramah, senyum merekah, dan suka becanda. Tak seserius mukanya. Bahkan,
setiap kali ia bicara ada pesan tersirat yang hendak ia sampaikan kepada saya.
Anehnya, saya mau saja menerimanya, tanpa terpaksa. Ada apa sebenarnya.
Saya yang tadinya tidak suka, mendadak merasa dekat dengannya. Bahkan, akan
bersedia pasang badan membela jika ada yang menjelek-jelekkannya.
Ada
beberapa soalan penting yang saya tanya kepadanya. Di antaranya, tentang
gayanya memimpin doa. Belajar dari siapa, terus apa rahasianya.
Anehnya,
ia mengawali menjawabnya dengan ketawa. Lalu berkata:
"Bang
eMDe yang baik hatinya. Saya kan berdoa itu diminta panitia, jadi hanya
membantu saja niatnya. Bukan sebab nominal harta. Tak dikasih pun rela. Tak
percaya, tanyalah sama panitia.,"
Sambil
merapikan rambutnya, ia meneruskan, "mumpung banyak yang mengaminkannya,
kenapa tidak saya serius dengan hati meminta, sebab dengan hatilah makanya oleh
hati yang lain juga terasa." Jelasnya.
"Berceramah
pun demikian juga?" Tanya saya.
"Ya,
semuanya. Itu yang menjadi dasar saya" tegasnya.
Ia
melanjutkannya:
"Coba
abang perhatikan ya, banyak orang yang ingin dekat dengan atasannya. Ia
melakukan berbagai cara, apa saja. Kenapa kita tidak berbuat hal yang sama
kepada Tuhan kita? Biar Tuhan saja yang membuat atasan sayang kepada kita."
Saya
hanya menyimak dan tak bisa berkomentar apa-apa. Jawabannya seperti menampar
saya yang ingin dekat dengan atasan saya. Terakhir kabar yang saya terima,
ia ditugaskan untuk mendampingi jamaah Haji ke Mekah oleh atasan kita. Alamak,
berangkat haji di usia muda, dibayarin pula. Semoga mabrur ya!
Beruntunganya
Farhan, si pembaca doa. "Semoga Tuhan selalu menjaganya dan
melindungi keluarganya, menambah ilmu dan amalnya, serta selalu sehat lahir dan
batinnya, amin ya mujibu du'a".
Ilustrasi:
fotodakwah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar