Selasa, 29 Oktober 2019

Kisah Seorang Pendoa



Beragam cara Tuhan memanggil hambaNya untuk datang ke baitullah, rumahNya. Ada yang dibuatnya kaya, sehingga bisa berangkat haji dengan hartanya. Walau kadang ia menunggu dalam waktu yang cukup lama. Namun, tak semua yang milioner juga pergi ke sana. Sebaliknya, ada juga yang tak miliki limpahan harta, tapi dapat juga menginjakkan kaki di sana. 

Farhan contohnya (bukan nama sebenarnya). Teman kantor saya yang baru tahun lalu bergabung dengan kami. Ia hanya seorang pemuda yang tak begitu istimewa. Body tak begitu perkasa, wajah tak tampan juga. Malah, untuk orang yang melihatnya kali pertama, ada kesan arogan dan belagu menempel erat di dirinya. Saya pun merasakan hal yang sama terhadapnya. Gaya jalannya seolah diatur agar terlihat mempesona. Pakaiannya selalu rapi juga, terlihat lipatan bekas setrika. Belum lagi parfumnya yang semerbak wanginya. 

Hingga suatu ketika, saya melihatnya tampil di muka, untuk membaca seuntai doa pembuka acara. Gelegar suara seraknya, seolah memang sedang meminta kepada Tuhan pencipta. Terasa sejuk di dada. Tak pelak ada beberapa hadirin yang terkadang larut mendengarnya, hingga meneteskan air mata. Tak hanya sampai di sana, ia juga bisa memberikan ceramah agama. Di beberapa kesempatan saya hadir mendengarnya. Penyampaiannya sederhana. Namun, mengena. Mulai dari para pimpinan hingga ibu-ibu muda tampak terkesima. Saya mengira, sebab ia tahu kelebihannya membuat ia berbangga dan muncul sombongnya.

Perkiraan saya salah ternyata. Siang itu saya bertemu dengannya selesai shalat di mushala. Memang, saya dulu yang menyapa.
"Assalamualaikum, ustaz Farhan", ujar saya.
"Waalaikumussalam, abang. Panggil Farhan aja" sambil melempar senyum ia menjawabnya.
"Maaf, dengan abang siapa?" Ia balas bertanya.
"Oh iya, saya eMDe" jawab singkat saya.

Obrolan kami berlanjut dalam waktu lama. Hampir sejam bercengkrama. Ada kenyamanan yang terasa. Hal ini pun mengikis buruk sangka yang selama ini ada. Ternyata, Ia ramah, senyum merekah, dan suka becanda. Tak seserius mukanya. Bahkan, setiap kali ia bicara ada pesan tersirat yang hendak ia sampaikan kepada saya. Anehnya, saya mau saja menerimanya, tanpa terpaksa. Ada apa sebenarnya. Saya yang tadinya tidak suka, mendadak merasa dekat dengannya. Bahkan, akan bersedia pasang badan membela jika ada yang menjelek-jelekkannya.

Ada beberapa soalan penting yang saya tanya kepadanya. Di antaranya, tentang gayanya memimpin doa. Belajar dari siapa, terus apa rahasianya.
Anehnya, ia mengawali menjawabnya dengan ketawa. Lalu berkata:
"Bang eMDe yang baik hatinya. Saya kan berdoa itu diminta panitia, jadi hanya membantu saja niatnya. Bukan sebab nominal harta. Tak dikasih pun rela. Tak percaya, tanyalah sama panitia.,"

Sambil merapikan rambutnya, ia meneruskan, "mumpung banyak yang mengaminkannya, kenapa tidak saya serius dengan hati meminta, sebab dengan hatilah makanya oleh hati yang lain juga terasa." Jelasnya.

"Berceramah pun demikian juga?" Tanya saya.
"Ya, semuanya. Itu yang menjadi dasar saya" tegasnya. 

Ia melanjutkannya:
"Coba abang perhatikan ya, banyak orang yang ingin dekat dengan atasannya. Ia melakukan berbagai cara, apa saja. Kenapa kita tidak berbuat hal yang sama kepada Tuhan kita? Biar Tuhan saja yang membuat atasan sayang kepada kita."

Saya hanya menyimak dan tak bisa berkomentar apa-apa. Jawabannya seperti menampar saya yang ingin dekat dengan atasan saya. Terakhir kabar yang saya terima, ia ditugaskan untuk mendampingi jamaah Haji ke Mekah oleh atasan kita. Alamak, berangkat haji di usia muda, dibayarin pula. Semoga mabrur ya!
Beruntunganya Farhan, si pembaca doa. "Semoga Tuhan selalu menjaganya dan melindungi keluarganya, menambah ilmu dan amalnya, serta selalu sehat lahir dan batinnya, amin ya mujibu du'a".




Ilustrasi: fotodakwah.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NASIB ASMARA BERBANDING LURUS DENGAN MUKA?

Ketika belum ada gawai, surat cinta menjadi primadona dalam menyampaikan pesan cinta. Waktu itu, meski hampir 250 kali membuat surat ci...