ABSTRAK
Fiqh Lughah dan Ilmu Lughah
merupakan dua kajian
epistimologi bahasa. Kedua disiplin ilmu bahasa ini diawali kata fiqh dan
ilm. Dua kata ini mengandung makna mengetahui dan memahami sesuatu. Kemiripan
pengertian secara etimologi membuat kedua disiplin ilmu ini perlu diberi batasan yang jelas,
khususnya dalam objek kajiannya. Hal ini bertujuan agar kajian Fiqh
Lughah tidak berbaur dengan kajian Ilmu Lughah. Setelah dilakukan
kajian,
ditemukan tiga ranah objek kajian Fiqh
Lughah. Pertama, kajian hubungan lafaz dengan lafaz. Ranah pertama ini
membahas komparasi dengan bahasa Semit dan Bahasa Arab. Kedua, Kajian
hubungan lafaz dengan makna. Ranah ini membahas tentang makna yang dihasilkan
oleh bunyi dan makna yang diperoleh dari aneka jenis kamus. Ketiga,
kajian lafaz dalam penerapannya. Ranah ketiga ini membahas tentang gharib,
dakhil, maudhu’ (musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul), dan majaz.
Kata kunci: Fiqh Lughah, objek kajian
A.
Pendahuluan
Secara etimologi, Fiqh Lughah
memiliki kesamaan makna dengan Ilmu Lughah[1].
Fiqh berarti ilm atau mengetahui dan memahami tentang sesuatu[2].
Akan tetapi, Fiqh Lughah dan Ilmu Lughah secara terminologi memiliki pengertian
yang berbeda, begitu juga dengan metodologi dan ranah kajiannya.
Dilihat dari metodologi, Fiqh
Lughah mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mempelajari peradaban atau sastra,
sedangkan Ilmu Lughah mengkaji bahasa untuk kepentingan bahasa itu sendiri.
Proses analisanya pun berbeda, meski dalam objek yang sama. Fiqh Lughah lebih
menekankan kajian tentang historique comparative, sedangkan Ilmu Lughah
sebatas kajian analisis deskriptive.
R.H Robin dalam Dr. Emil Badi
Yaqub menjelaskan bahwa ranah kajian Fiqh Lughah lebih luas dibanding Ilmu
Lughah. Fiqh Lughah memiliki tujuan akhir untuk mempelajari peradaban dan
sastra melalui bahasa, sedangkan Ilmu Lughah terbatas pada analisa terhadap
struktur kalimat saja[3].
Perbedaan yang telah diklasifikasikan oleh para linguis di atas akan dapat dipahami
secara komperhensif jika objek kajian masing-masing ilmu dikaji lebih mendalam.
Argumentasi di atas menjadi
alasan pentingnya untuk mengkaji Fiqh Lughah dengan mengetahui batasan objek
kajiannya. Pada artikel ini akan dibahas tentang objek-objek kajian Fiqh Lughah.
Pertama, hubungan lafaz dengan lafaz. Kedua, hubungan lafaz dengan makna.
Ketiga, hubungan lafaz dengan penerapannya.
B.
Pembahasan
Objek kajian Fiqh Lughah berbeda
dengan Ilmu Lughah. Jika kajian Ilmu Lughah cenderung mengkaji morfologi, fonem,
dan sintaksis, sedangkan Fiqh Lughah mengkaji lafaz (kata) yang berhubungan
dengan morfem, morfologi, sintaksis tersebut, baik yang berhubungan dengan kata
lain, dengan makna, maupun dalam penerapannya[4].
Secara rinci pemakalah uraikan di bawah ini.
1.
Hubungan
lafaz dengan lafaz (علاقة اللفظ باللفظ)
a.
Komparasi
dengan bahasa Semit
(مقارنات سامية)
Komparasi dengan bahasa Semit memiliki
arti bahwa Fiqh Lughah mengkaji secara history tentang perkembangan
bahasa pada abad-abad permulaan. Ketika itu para teolog Yahudi dan Nasrani
merasakan perlunya mengkaji bahasa untuk memahami kitab-kitab suci mereka.
Pada tahun 1798 M, di mana
terjadinya perkembangan pengkajian bahasa Semit, perhatian terhadap bahasa
mengalami perkembangan pesat sehingga tidak berfokus pada kajian bahasa kitab
suci saja. Kajian terhadap perbandingan bahasa Semit membantu menyingkap
fenomena-fenomena yang terdapat dalam bahasa Arab. Hal ini menyebabkan para
pengkaji bahasa mampu memberikan interpretasi terhadap hal-hal yang masih
dianggap membingungkan. Inilah yang menjadi objek kajian Fiqh Lughah.
b. Komparasi dengan bahasa Arab (مقارنات عربية)
Pada bagian ini, kajian Fiqh
Lughah akan membahas perbandingan dialek-dialek dalam rumpun bahasa Arab. Kajiannya
tentu tidak berbentuk deskriptif terhadap dialek yang ada, seperti yang menjadi kajian ilmu nahwu, tetapi
berfokus kepada faktor penyebab
atau alasan terjadinya perbedaan dialek pada bahasa Arab itu.
2. Hubungan lafaz dengan makna (علاقة اللفظ
بالمعنى)
Hubungan lafaz dengan makna terbagi menjadi dua bagian. Pertama, makna jaras yaitu makna yang ditimbulkan dari bunyi. Kedua, makna kata berdasarkan kamus.
a. Makna bunyi (الجرس)
Seperti yang telah dikemukakan
oleh para linguis, bahwa kajian Fiqh Lughah dalam hal bunyi adalah sekitar
hubungan antara fenomena bunyi kata
dan pengaruhnya terhadap kondisi saat bunyi kata itu terdengar. Kajian bunyi
ini terbagi dua, yaitu muhakah dan taklif. Masing-masing akan
dijelaskan dengan rinci.
1) Muhakah
(المحاكة)
Muhakah adalah bunyi kata yang menunjukkan makna tertentu. Fenomena bahasa ini
dikenalkan pertama kali oleh
linguis Ighriq dengan nama ono mato poeia. Fenomena ini terdapat
pada semua bahasa manusia. Sebagian mereka menyebutnya sebagai perkembangan
bahasa yang pertama.
Para linguis menjadikan bahasa
sebagai pemberi berita terhadap suara dalam perkembangannya. Seperti kata-kata:
الخرير, الفحيح, atau الحفيف. Demikian juga dengan kata قطف, قطع, dan قطم. Kajian
terhadap kata-kata ini hanya terhadap kosa katanya, bukan dalam hal qaidah,
yang menjadi objek kajian Ilmu Lughah.
2)
Taklif (التأليف)
Taklif adalah kajian terhadap susunan atau
bangunan kata. Apakah huruf-huruf pembentuk kata itu dinilai bagus atau tidak. Kata tersebut dinilai berdasarkan kedekatan makhraj (tempat keluarnya huruf). Seperti مستشزرات dan الهعخ.
b.
Makna Kamus (المعجمي)
Unsur terakhir dalam hubungan bahasa dengan makna dalam Fiqh
Lughah adalah makna yang diperoleh dari kamus. Beragam kamus telah dibuat oleh
para linguis sebagai bentuk perkembangan bahasa. Kelompok kamus tersebut akan diuraikan berikut ini.
1)
Kamus objek tertentu (معاجم موضوعات
خاصة)
a)
Rasail Maudhu’at (رسائل الموضوعات)
Kamus ini memuat kata-kata yang sering digunakan dalam
keseharian, bahkan ada yang mengikutsertakan tarkib dan susunan
kalimat. Kata-katanya memuat objek tertentu, seperti tentang senjata dan
sebagainya. Di antara objek kajian dalam risalah ini adalah sebagai
berikut.
(1)
Risalah Lingkungan
Arab Gurun, seperti risalah tentang hujan karya Abi Zaid dan Alashmai, risalah
tentang badai karya Abu Hanifah Addainury, risalah tentang awan dan hujan karya
Ibnu Daryad.
(2)
Risalah Hewan,
seperti risalah penciptaan hewan karya Alashmai, risalah tentang
kuda karya Ibnu Qutaibah, risalah tentang onta dan kambing karya
Alashmai, dan risalah tentang burung karya Ibnu Abi Hatim.
(3)
Risalah Tumbuhan, risalah
tentang tumbuhan karya Abu Hanifah, Alashmai, dan Abu Zaid.
b)
Mutaradif (المترادف)
Mutaradif memiliki makna yang sejajar dengan
sinonim. Kamus sinonim berisi padanan dari kata, di antaranya terdapat pada
kamus Raudhul Makluf Fima Lahu Ismani Ila Uluf karya Alfayr dan Zubadi
c)
Adhdad (الأضداد)
Adhdad adalah satu kata memiliki dua makna
yang berlawanan[5]. Di antara risalah yang memuat adhad adalah kamus yang dibuat oleh
Qithrib, Ibnu Sakkit, Abu Bakr Alanbary, Abu Barakat bin Alanbary, Atawazi, dan
Ashaghani.
d)
Musytarak
Lafzy (المشترك اللفظي)
Musytarak lafzy adalah beragamnya makna sebuah kata. Di antara risalah yang memuat musytarak lafzy ini
dibuat oleh Alashmai dan Ibnu Abi Hatim Assajastani.
e)
Furuq (الفروق)
Al-Furuq merupakan perbedaan-perbedaan dalam
bahasa. Kata berbeda namun memiliki arti yang berdekatan dan memiliki
muatan makna yang berbeda.
Tokoh
yang telah membuat risalah al-Furuq adalah Yaqub bin Sakkit dan Abu Hilal Alasykari.
f)
Kamus sains dan teknologi (معاجم فنية)
Kamus ini baru muncul dan berkembang pada masa belakangan
ini. Di antara contohnya adalah Kasyaf karya Atahanuwi, Tarif
karya Aljurjani, dan Kulliyat karya Abu Baqa Alhusaini.
2) Kamus Makna (معاجم المعنى)
Kamus ini merupakan kamus yang disusun berdasarkan
susunan makna yang khusus. Berdasarkan urutan makna itulah disusun kata-kata
bahkan tarkibnya. Di antara contoh kamus ini adalah kitab Alfaz
karya Ibnu Sakkit, Tahzib Kitab Alfaz karya Atabrizi, Alfaz alkitabiyah karya
Hamzani, Mabadi Lughah karya Aliskafi, dan Almukhashash karya Ibnu Sayyiduh.
3) Kamus Lafaz (معاجم الألفاظ)
Kamus lafaz berbeda dengan kamus makna. Kamus ini disusun
berdasarkan susunan kata kemudian diberi maknanya. Penyusunan kamus yang satu
dengan yang lain terdiri atas beragam metoda. Setidaknya terdapat dua jenis,
yaitu penyusunan secara fonemik berdasarkan makhraj dan penyusunan berdasarkan
huruf hijaiyah.
a)
Penyusunan secara fonemik
berdasarkan makhraj terdapat pada kamus seperti kamus Al-Ain karya Khalil,
Albari’ karya Alqali, Tahzibul Lughah karya Alazhary, Almuhith karya Shahib Ibn
Ibad.
b)
Penyusunan berdasarkan huruf
hijaiyah sesuai urutan huruf. Pembagian
penyusunannya akan diuraikan berikut ini.
(1) Susunan kata-katanya beraturan. Terkadang menggunakan taqlibul
huruf seperti pada kamus Aljamharah karya Ibn Duraid, dan dengan nizham
tatabu daury seperti kamus Maqayis Lughah karya Ibn Faris. Secara rinci terlihat dalam table di bawah ini.
الحرف
|
البدء
|
الانتهاء
|
ب
|
بب
|
بأ
|
ت
|
تت
|
تب
|
Tabel 1: Kamus dengan susunan
kata-kata yang beraturan
(2)
Susunan kata-katanya tidak
berpedoman kepada tertib kata. Jenis kamus ini terdapat dua macam. Pertama,
urutannya berdasarkan huruf awal kata seperti kamus Aljim karya Asyaibani dan Asasul
Balaghah karya Zamakhsyari, Almishbah karya Alfuyumi, serta kamus-kamus moderen
menggunakan susunan ini. Kedua, susunannya berdasarkan huruf terakhir kata,
seperti kamus Diwanul Adab karya Alfarabi dan Lisanul Arab karya Ibn Manzur.
3. Hubungan lafaz dengan penggunaan
/ penerapan (علاقة اللفظ بالاستعمال)
a. Gharib
(غريب)
Gharib adalah kosa kata yang jarang atau
tidak masyhur penggunaannya dalam keseharian. Kata tersebut tidak diketahui
kecuali setelah melewati kajian tertentu. Ia dapat didefenisikan juga sebagai
kosa kata asli bahasa Arab yang tidak memakai kaidah bahasa Arab yang masyhur.
Kosa kata yang dipandang gharib ini ada kalanya diambil
dari Alquran, seperti yang terdapat dalam kitab Gharibul Quran karya Muarij
Assudusy dan Gharibul Quran karya Abu Hatim Assajastani. Ada yang diperoleh
dari kitab Hadis Nabi Muhammad SAW, seperti kitab yang dikarang oleh Abu
Ubaidah, Alashmai dan sebagainya.
Terdapat juga kitab yang memuat kata-kata gharib
dari Alquran dan Hadis, seperti pada kitab Gharibul Quran wa Gharibul Hadis
karya Ibn Khurath, Alharwi, dan Almadini. Disamping itu, ada yang diambil dari
kalam orang Arab, seperti pada kitab Gharibul Mushnif karya Ibn Salam, Gharibul
Lughah dan Kitab Gharibul Lughah wa Musykilul Quran karya Ibn Qutaibah.
b. Dakhil (دخيل)
Dakhil dalam definisi para linguis
memiliki dua jenis, yaitu muarrab dan muwallad.
Adapun
perbedaan dari dua jenis ini hanya sekitar waktu saja. Mana yang lebih dahulu dan
mana yang terjadi baru-baru ini. Meskipun pada hakikatnya memiliki pengertian
yang sama. Dua jenis itu akan dijelaskan
berikut ini.
1) Muarrab (معرب)
Muarrab dalam istilah Bahasa Indonesia sejajar dengan serapan. Muarrab adalah proses menyerap kata asing dengan cara adaptasi berdasarkan
aturan bahasa Arab dan kebiasaan tutur kata orang Arab atau dengan cara
adaptasi dari segi tashrif.
Sebagian linguis Arab ada yang tidak setuju dengan adanya
serapan dalam bahasa Arab.
Alasan
mereka adalah bahwa
serapan menunjukkan ketidakmurnian bahasa. Akan tetapi, mayoritas linguis telah
sepakat bahwa terjadinya serapan sebagai bentuk kedinamisan sebuah bahasa.
Di antara buktinya adalah bahwa dalam Alquran sendiri
terdapat kata serapan dari bahasa lain. Ketika Alquran diturunkan maka
kata-kata itu menjadi bahasa Arab, seperti kata الصراط, السندس, الاستبرق, القنطار, الدينار, dan
sebagainya.
2) Muwallad (مولد)
Muwallad merupakan sisi lain dari muarrab.
Pola muwallad ini baru muncul pada Dinasti Abasiyah. Hal ini terjadi saat terjadinya penerjemahan besar-besaran terhadap buku-buku asing.
Para penerjemah telah berupaya membuat padanan huruf yang tidak ditemukan dalam
bahasa Arab yang mendekati fonem Arab.
Di antara huruf yang tidak terdapat dalam bahasa Arab adalah
huruf C yang ditulis dengan huruf ق, contoh: موسيقي (music),
dan huruf V yang ditulis dengan huruf ب atau و, seperti الأوستا (vista).
Akan tetapi, bagaimanapun juga hal ini tidak bisa dijadikan patokan, sebab Fiqh
Lughah tidak berfokus pada kaidah-kaidah.
Sebagai bukti, kita dapat menemukan serapan secara adopsi
langsung dari bahasa asing yang menyalahi kaidah tashrif seperti التلفزيون (televisi).
Dari penjelasan ini dapat
dipahami pembeda antara muarrab dengan muwallad. Jika para pendahulu mengadakan muarrab --menyerap
bahasa asing tetapi disesuaikan dengan kaidah bahasa Arab-- untuk kemurnian
bahasa, maka para linguis moderen melakukan muwallad --memberikan kebebasan
dalam penyerapan bahasa asing-- tanpa terpaku kepada kaidah bahasa Arab (serapan-adopsi)
untuk kepentingan keilmuan.
Di antara kitab yang mengkaji tentang fenomena serapan
ini adalah Kitab Ma Warada fil Quran min Lughatil Qabail karya Ibn Salam
Aljumha, Kitab Qasdu Sabil fima fil Arabiyah minad Dakhil karya Dimasyqi, dan Almuarrab
min Alfazil Quranil Karim karya Syekh Hamzah Fathullah.
c. Maudhu’ (موضوع)
Dalam hal ini, ada beragam pertanyaan muncul dalam benak
kita tentang Fiqh Lughah. Di antaranya adalah kenapa kita juga membahas tentang
musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul dalam Fiqh Lughah,
di mana sudah kita pelajari pada nahwu dan atau ushul nahwi. Apa perbedaan
kajian pada kedua disiplin ilmu ini dan sebagainya.
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah bahwa kajian Fiqh
Lughah terbatas pada penerapan dari semua istilah di atas. Lebih rinci akan
kita temukan dalam penjelasan di bawah ini.
1) Musytaq (مشتق)
Musytaq merupakan proses membuat sebuah kata yang diambil dari
satu kata lain atau lebih yang sesuai lafaz dan maknanya. Seperti kata طالب yang berasal dari kata طلب. Kajian Fiqh Lughah tidak sekedar
mencari apa asal dari kata itu serta kaidah-kaidahnya, seperti yang dibahas
dalam ranah Ilmu Lughah. Akan
tetapi
lebih mengkaji dan mengamati kepada jenis dan perbedaan makna yang ditimbulkan
oleh perbedaan bentuk kata turunan tersebut.
2) Manhut (منجوت)
Manhut adalah sebuah kata yang diambil dari
dua kata lain atau lebih. Kata ini menjadi istilah tertentu. Di antara contoh manhut ini
adalah البسملة yang berasal dari kata بسم الله.
3) Murtajal (مرتجل)
Murtajal adalah
sebuah istilah baru yang muncul dari seorang yang terpandang dan tinggi tingkat
kafasihannya, dimana belum pernah ada istilah tersebut sebelumnya.
4) Mulhaq (ملحق)
Mulhaq adalah menambah huruf dalam sebuah
kata kemudian ditasrif berdasarkan kaidah asalnya. Seperti ب, ل, ج, menjadi جلبب.
5) Ma’dul (معدول)
Fenomena ma’dul telah
masyhur pada bahasa Arab. Wazan kata terdapat dalam tasrif, namun
ia tidak bisa ditasrif. Seperti kata عمر.
d. Majaz (مجاز)
Seperti yang kita kenal bahwa majaz merupakan
kajian Ilmu Balaghah. Pertanyaannya,
kenapa
terdapat dalam objek kajian Fiqh Lughah? Jawabannya adalah karena majaz berhubungan
dengan lafaz dan kaitannya dengan penerapan bahasa.
C.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat
dipahami perbedaan yang jelas antara Fiqh Lughah dengan Ilmu Lughah. Fiqh
Lughah membahas tentang kosa kata dan penerapannya, baik yang berkaitan dengan
lafaz, makna, maupun penerapannya dalam kalimat. Fiqh Lughah tidak membahas struktur dan kaidah-kaidah bahasanya. Dengan kata lain, Fiqh Lughah
membahas sesuatu yang yang berubah-ubah (multi intrepertasi), tidak yang tetap. Memahami objek kajian Fiqh Lughah menjadi salah satu
jalan agar terjaga dari pembauran dengan kajian Ilmu Lughah.
Hasil kajian ini dapat dijadikan
kajian awal bagi para peminat kajian linguistik untuk mengenal Fiqh Lughah.
Diharapkan lahirnya beragam kajian lain setelah pembaca menelaah tulisan ini.
Daftar Pustaka
Alhamd, Muhammad bin Ibrahim. 2005.
Fiqh Lughah. Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah.
Hasan, Tamam. 2000. Al-Ushul. Kairo:
Alamul Kutub.
Manzhur, Ibn. t.t. Lisanul Arab. Beirut:
Dar Shadir.
Yaqub, Emil Badi. 1982. Fiqh Lughah Arabiyah
Wa Khashaishiha. Beirut: Daru Tsaqafah Islamiyah.
ijin copas yah, , ,trma kasih. .
BalasHapussangat membantu sekali, terima kasih
BalasHapus