Rabu, 20 November 2019

NASIB ASMARA BERBANDING LURUS DENGAN MUKA?


Ketika belum ada gawai, surat cinta menjadi primadona dalam menyampaikan pesan cinta. Waktu itu, meski hampir 250 kali membuat surat cinta selama satu tahun, namun tak satupun surat-surat itu dikirimkan kepada kekasih saya. Mau tau kenapa? Ya jelas saja, sebab waktu itu saya belum punya. Jangankan kekasih, gebetan pun belum ada. Tidak mungkin dikasih kepada pacar orang kan? Apalagi ditujukan untuk isteri teman. Nanti saya bisa dianggap 'pebinor' alias perebut bini orang.

Surat yang berjibun itu tak satupun lagi ada pada saya. Tidak dibakar ataupun dibuang. Akan tetapi, ketika selesai saya tulis, surat itu langsung diserahkan oleh teman saya kepada kekasihnya. Padahal isi surat itu adalah nyata isi hati saya. 

Sebagai penerima jasa penulisan surat cinta, untuk tiap kali membuatnya, saya cukup menanyakan kepada teman tentang isi utama yang hendak disampaikan kepada pacarnya. Tak jarang, saya menulisnya sambil melihat poto kekasihnya itu. Dengan sedikit berimajinasi, menjadikan perempuan itu sebagai kekasih maya saya sementara, maka terbukalah pintu perbendaharaan kata-kata puitis yang membuat pembacanya melayang ke dunia asmara.

Jemari saya seolah tak mau berhenti melukiskan rangkaian kalimat yang menggelorakan jiwa. Bahkan terkadang, tanpa berpikirpun, saya dapat menyelesaikan satu surat cinta dalam waktu lima menit saja. Itulah saya.

Terus mau apa lagi, ternyata kelihaian merangkai kata yang romantis, senyum manis yang menggoda, dan kedipan mata yang aduhai tak cukup sebagai modal untuk memikat seorang gadis. Saya malah khawatir, lama-lama begini bakal ada lelaki yang akan 'suka' kepada saya. Ya Allah, jangan sampai ya. Ampun, Saya masih sangat normal.

Terkadang hidup memang terlihat tidak begitu adil. Teman yang saya buatkan surat cintanya itu tidak romantis, cuma modal ketampanan dan harta orang tuanya. Akan tetapi, banyak perempuan yang suka kepadanya, bahkan ia sering gonta-ganti pacar. 

Kakek saya pernah bilang, biasanya ciri-ciri orang yang romantis itu bermuka sederhana. Ketika dia mengatakan itu saya membantahnya mentah-mentah. Terang saja, cucunya kan tidak demikian, aku saya. Akan tetapi, ketika saya melihat diri saya di cermin, otak ini mulai membenarkan kata-kata itu. Mungkinkah ini takdir sang pujangga? 

Harus diakui, saya bukannya tidak tampan. Namun, jika ada sepuluh laki-laki, kemudian dinilai ketampanannya, maka saya berada diurutan ke enam. Hasil yang cukup memuaskan, bukan? Itupun karena laki-laki yang empat orang lagi pas ujian ketampanan itu berhalangan hadir. 

Saya bukannya tidak pernah mencoba mendekati perempuan. Banyak yang saya taksir. Bahkan saya membuat daftar nama-nama perempuan yang saya incar. Satu persatu tersisih. Mereka sepertinya mencari ribuan alasan untuk tidak menjadi pacar saya. 

Bahkan, ada seorang gadis. Dewi namanya. Dia anak orang kaya di kampung sebelah. Dia tau saya suka menulis di kolom mading sekolah. Bahkan dia salah seorang peminat karya saya dan menunggu-nunggu karya saya berikutnya. Mengetahui hal itu, saya melakukan pendekatan dan mengajaknya untuk makan malam di sebuah cafe.

Saya ingat betul, saat itu kami berdua janjian ketemu di sebuah cafe yang baru diluncurkan bulan itu. Suasana saat itu begitu mendukung. Di luar, hujan turun perlahan membasahi bumi, terdengar tik-tiknya seperti melodi, ada lilin putih yang menyala di atas meja, begitu romantisnya. Saya tidak mau menyiakan kesempatan itu. Sejenak saja saya hendak menyatakan isi hati. Baru saja saya menghela napas dan memanggil mesra namanya. Dia lantas bilang: "Kita temanan saja ya!".

Sejuknya udara kala itu seketika membakar ubun-ubun, suara hujan seolah menusuk jantung, dan serasa langit mau runtuh. Ternyata benar juga, cinta itu pada pandangan pertama. Pandangan pertama itu tertuju kepada muka. Begitu berbandinglurusnya muka dengan asmara? 





[Ilustrasi: Dok.Pribadi]

Sabtu, 09 November 2019

Saya Itu Siapa?




Banyak yang bertanya, sebenarnya saya itu siapa? Baiklah, saya akan mengaku. Saya adalah Emde. Nama yang singkat dan penuh misteri. Terlihat memang hanya terdiri atas empat huruf, namun sebenarnya cuma dua huruf saja, yaitu M dan D. Hampir setiap orang yang berkenalan dengan saya, bertanya kepanjangan dari huruf misteri itu. 

Jangankan orang lain, saya saja penasaran dengan nama saya. Sepertinya itu adalah warisan. Ayah saya namanya juga ringkas, yaitu Han. Kakek pun demikian. Namanya juga hanya satu kata, yaitu Abdul. Bisa dipastikan, jika kelak saya akan berangkat haji atau umrah, di paspor akan tertulis nama saya EMDE HAN ABDUL. Keren juga bukan?


Upaya saya untuk mengungkap misteri itu telah lama saya coba, dimulai sejak memasuki kelas VII SMP. Baik bertanya langsung kepada ayahanda tercinta, sang pemberi nama, maupun kepada ibu, dan keluarga besar lainnya. Sementara jawabannya adalah nama itu terdengar maco. Alasan yang menambah misteri.


Saya tetap saja bersyukur. Toh itu adalah nama pemberian orang tua. Jika tak ada orang tua maka tak akan ada Emde di dunia ini. Lagian, apalah arti sebuah nama. Untung juga bukan omdo (omong doang). Begitulah salah satu cara menghibur diri sendiri.


Saking penasarannya teman-teman saya, ada yang berupaya menerjemahkan dengan sekehendak hatinya. Mulai dari yang positif bahkan ada yang menjurus kepada pelecehan. Ups, tapi biarlah, saya akan memberitahu yang positifnya saja, biar menjadi doa buat saya.


Teman saya itu memberikan kepanjangan nama saya Muhammad Dilan. Saya kaget dan mengerutkan dahi saat ia mengatakannya. Sejurus kemudian dia menjelaskan alasannya. Setelah tahu alasannya, Saya saja jadi malu untuk menceritakannya. 


Nama depan yang dikasih amat berat. Katanya, saya orang taat ibadah, minimal shalat lima waktu tak pernah bolong, meski terkadang melaksanakannya sudah di ujung waktu juga. Terus, nama kedua sebab saya suka menulis. Memang, saya suka menulis yang saya pikirkan. Sesekali mengisi kolom di koran tertentu. Kadang juga membantu teman untuk menulis surat cinta kepada kekasihnya. Ada-ada saja.





[Ilustrasi: Dok. Pribadi]

Selasa, 29 Oktober 2019

Kisah Seorang Pendoa



Beragam cara Tuhan memanggil hambaNya untuk datang ke baitullah, rumahNya. Ada yang dibuatnya kaya, sehingga bisa berangkat haji dengan hartanya. Walau kadang ia menunggu dalam waktu yang cukup lama. Namun, tak semua yang milioner juga pergi ke sana. Sebaliknya, ada juga yang tak miliki limpahan harta, tapi dapat juga menginjakkan kaki di sana. 

Farhan contohnya (bukan nama sebenarnya). Teman kantor saya yang baru tahun lalu bergabung dengan kami. Ia hanya seorang pemuda yang tak begitu istimewa. Body tak begitu perkasa, wajah tak tampan juga. Malah, untuk orang yang melihatnya kali pertama, ada kesan arogan dan belagu menempel erat di dirinya. Saya pun merasakan hal yang sama terhadapnya. Gaya jalannya seolah diatur agar terlihat mempesona. Pakaiannya selalu rapi juga, terlihat lipatan bekas setrika. Belum lagi parfumnya yang semerbak wanginya. 

Hingga suatu ketika, saya melihatnya tampil di muka, untuk membaca seuntai doa pembuka acara. Gelegar suara seraknya, seolah memang sedang meminta kepada Tuhan pencipta. Terasa sejuk di dada. Tak pelak ada beberapa hadirin yang terkadang larut mendengarnya, hingga meneteskan air mata. Tak hanya sampai di sana, ia juga bisa memberikan ceramah agama. Di beberapa kesempatan saya hadir mendengarnya. Penyampaiannya sederhana. Namun, mengena. Mulai dari para pimpinan hingga ibu-ibu muda tampak terkesima. Saya mengira, sebab ia tahu kelebihannya membuat ia berbangga dan muncul sombongnya.

Perkiraan saya salah ternyata. Siang itu saya bertemu dengannya selesai shalat di mushala. Memang, saya dulu yang menyapa.
"Assalamualaikum, ustaz Farhan", ujar saya.
"Waalaikumussalam, abang. Panggil Farhan aja" sambil melempar senyum ia menjawabnya.
"Maaf, dengan abang siapa?" Ia balas bertanya.
"Oh iya, saya eMDe" jawab singkat saya.

Obrolan kami berlanjut dalam waktu lama. Hampir sejam bercengkrama. Ada kenyamanan yang terasa. Hal ini pun mengikis buruk sangka yang selama ini ada. Ternyata, Ia ramah, senyum merekah, dan suka becanda. Tak seserius mukanya. Bahkan, setiap kali ia bicara ada pesan tersirat yang hendak ia sampaikan kepada saya. Anehnya, saya mau saja menerimanya, tanpa terpaksa. Ada apa sebenarnya. Saya yang tadinya tidak suka, mendadak merasa dekat dengannya. Bahkan, akan bersedia pasang badan membela jika ada yang menjelek-jelekkannya.

Ada beberapa soalan penting yang saya tanya kepadanya. Di antaranya, tentang gayanya memimpin doa. Belajar dari siapa, terus apa rahasianya.
Anehnya, ia mengawali menjawabnya dengan ketawa. Lalu berkata:
"Bang eMDe yang baik hatinya. Saya kan berdoa itu diminta panitia, jadi hanya membantu saja niatnya. Bukan sebab nominal harta. Tak dikasih pun rela. Tak percaya, tanyalah sama panitia.,"

Sambil merapikan rambutnya, ia meneruskan, "mumpung banyak yang mengaminkannya, kenapa tidak saya serius dengan hati meminta, sebab dengan hatilah makanya oleh hati yang lain juga terasa." Jelasnya.

"Berceramah pun demikian juga?" Tanya saya.
"Ya, semuanya. Itu yang menjadi dasar saya" tegasnya. 

Ia melanjutkannya:
"Coba abang perhatikan ya, banyak orang yang ingin dekat dengan atasannya. Ia melakukan berbagai cara, apa saja. Kenapa kita tidak berbuat hal yang sama kepada Tuhan kita? Biar Tuhan saja yang membuat atasan sayang kepada kita."

Saya hanya menyimak dan tak bisa berkomentar apa-apa. Jawabannya seperti menampar saya yang ingin dekat dengan atasan saya. Terakhir kabar yang saya terima, ia ditugaskan untuk mendampingi jamaah Haji ke Mekah oleh atasan kita. Alamak, berangkat haji di usia muda, dibayarin pula. Semoga mabrur ya!
Beruntunganya Farhan, si pembaca doa. "Semoga Tuhan selalu menjaganya dan melindungi keluarganya, menambah ilmu dan amalnya, serta selalu sehat lahir dan batinnya, amin ya mujibu du'a".




Ilustrasi: fotodakwah.com


NASIB ASMARA BERBANDING LURUS DENGAN MUKA?

Ketika belum ada gawai, surat cinta menjadi primadona dalam menyampaikan pesan cinta. Waktu itu, meski hampir 250 kali membuat surat ci...