(Kajian
pada Kitab al-Raddu ‘ala al-Nuhah Karya Ibn Madha’ dan Tajdidun al-Nahw Karya
Syauqi Dhaif)
A.
PENDAHULUAN
Perkembangan
ilmu Nahu hingga medio abad ke-6 mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini
terlihat dari meluasnya kajian ilmu tersebut sehingga banyak melahirkan
teori-teori, ilmuawan-ilmuwan yang tersohor dengan kedalaman ilmunya dalam
nahu, dan terbitnya buku-buku yang mengkaji nahu secara komperhensif.
Perkembangan
tersebut, pada satu sisi, memiliki andil positif dalam pertambahan khazanah
keilmuwan. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini memberikan gambaran bagi sebagian
pelajar pemula ilmu Nahu akan keruwetan dan susahnya mempelajari ilmu
tersebut.
Melihat
kondisi seperti ini, para ilmuwan dalam ilmu Nahu berupaya untuk melakukan
pembaharuan dalam ilmu ini agar mudah dipahami oleh pelajar pemula, terkhusunya
bagi penutur bahasa non Arab.
Di antara
ilmuwan yang melakukan pembaharuan itu adalah Ibnu Madha’. Setidaknya terdapat
tiga buah karyanya yang memuat kajian tentang pembaharuan ilmu Nahu. Salah satu
dari ketiga kitab tersebut, yang berjudul Kitab al-Raddu ‘ala Nuhah ditahqiq
oleh Dr. Syauqi Dhaif. Setelah mentahqiq kitab Ibn Madha’, Dr. Syauqi
Dhaif terinspirasi untuk membuat buku dengan judul Tajdidun Nahw.
Dalam
makalah ini, penulis akan mengkaji kedua kitab tersebut. Kajian yang bersifat
deskriptif tentang inovasi yang telah dilakukan oleh kedua tokoh pembaharu
tersebut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Kitab al-Raddu
‘ala al-Nuhah Karya Ibn Madha’
a.
Biografi Ibn Madha’dan karyanya
Nama lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Said
bin Haris bin Asim Ibnu Madha’, Dia
dijuluki Abu Abbas, Abu al-Qasim, dan Abu Ja’far. Akan tetapi, ia lebih dikenal dengan julukan Ibnu Madha[1].
Dia lahir di Cordova pada tahun 512 M dan meninggal pada
tahun 592 M di Isybiliyah. Selain seorang pakar Nahu, dia juga ahli fiqih
dan pernah menjabat menjadi hakim[2].
Dalam bidang keilmuan, pada abad ke 6 H, ia telah menulis
3 buku yang sangat monumental walaupun pernah terhenti dan muncul kembali pada
abad 14 H / 20 M. Tiga buku itu adalah:
1)
الرد على النحاة
2)
المشرق في النحو
3)
تنزيه القرآن عما لايليق بالبيان
Ibnu mada’ adalah ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti
Muwahidun yang dipelipori oleh Ibnu Tumart.
b.
Perjalanan Akademik.
Walaupun Ibnu Madha’ dikenal sebagai pembaharu dalam kajian epistemology Ilmu
Nahu, namun hal tersebut tidak serta merta membuatnya melupakan dan menafikan
ilmu-ilmu yang lain. Selain mempelajari ilmu Nahu, belau juga belajar ilmu
Fiqih dan ilmu yang berkenaan dengan tata bahasa Arab. Untuk bidang ilmu Fiqih, dia sempat belajar kepada ibnu al-Araby, Bathrujiy, Rosyaathy,
dan Abu Muhamad ibn al-Munasif.
Dalam bidang
ilmu tata bahasa Arab, dia pernah
belajar kepada Abu Bakar bin Sulaiman bin Sahnun dan Ibnu al-Roma’ yang
pernah mengkaji kitab imam Sibawaih, gurunya yang terakhir adalah Ibnu
Bisyakwal. Sedangkan guru besarnya adalah Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn
Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi (100-175 H), penggagas ilmu Nahu[3].
c.
Latar Belakang Kajian Nahu Ibnu
Madha.
Aliran Basroh dengan panglima besarnya Sibawaih, telah
mengantarkan Nahu pada perkembangan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan
berkiblatnya para pakar Nahu padanya. Kitabnya yang sering disebut Alkitab
–padahal Sibawaih belum sempat memberinya judul- tak seorang pun yang tahu
kapan penyusunan kitab tersebut[4].
Kitab yang dikarang Sibawaih ini benar-benar merupakan
karya monumental karena pada abad ke 2 di mana Dunia dan Islam pada masa
terpuruk, tetapi Sibawaih telah memamerkan kitabnya yang terdiri dari 820 bab.
Tidak hanya di daerah Basroh saja, konsep Nahu yang digagas oleh Imam Sibawaih
juga menyebar hingga ke Mesir dan Andalusia, sehingga hampir semua ahlii Nahu
dari ke 2 negara itu berkiblat kepada Imam Sibawaih.
Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki
guru besarnya yaitu Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim
Al-Farahidi Al-Azdi (100-175 H), yang dalam sejarah, kemashurannya dikalahkan
oleh Sibawaih. Khalil adalah perintis Sintaksis Bahasa Arab yang konsep-konsep Nahunya
banyak diterapkan oleh Sibawaih dalam kitabnya.
Al-Khalil adalah orang yang membuat istilah-istilah Nahu
seperti mubtada’, khabar, maf’ul bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain
sebagainya. Dia juga yang mengistilahkan rafa’, nashab, dan khafd,
serta jazm pada I’rab kalimah, dan mengistilahkan harakat mabni
dengan dhamah, fathah, kasrah, dan waqaf (sukun).
Dia sangat menguasai logika Aristoteles. Ada dua
konsepnya yang sangat dipengaruhi oleh filsafat, yaitu konsep tentang ‘amil
dan ma’mul, Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan
perspektif filsafat yaitu pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam
pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan
“pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’rab,
mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan
penyebab itu dengan ‘amil.
Dia juga menggagas dasar epistemologi Nahu yang meliputi
sima’, qiyas dan ta’lil dan menghadirkan istilah ta’wil dan pengecualian jika
terdapat contoh ucapan yang bertentangan dengan kaidah yang dia tetapkan.
Misalnya, Dia menetapkan bahwa hal harus dibentuk dari isim nakirah. Nah,
ketika muncul hal berupa isim ma’rifat dia melakukan ta’wil atau pengalihan
asumsi dari yang tampak.
Namun pada abad ke-6 M. Munculah seorang pakar Nahu yaitu Ibnu Mada yang
menggoyahkan mazhab itu dan dia menyusun konsep Nahu yang lebih praktis dengan
menghapus beberapa bagian bab dan teori yang dikira arelevansi dengan Nahu
yang mempersulit palajar untuk mempelajari ilmu Nahu dan mengembalikan Nahu
pada pondasi awalnya dengan maksud mempermudah dan memperingkas.
Dia berapologi bahwa konsep Nahu yang sudah tersebar dan
tertumpu pada Imam Sibawaih telah memperumit kajian Nahu sehingga ia membuat
konsep baru yang merobohkan pondasi Imam Sibawaih lewat 3 bukunya yang sudah
dipaparkan.
Dia adalah ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti Muwahidun
yang dipelipori oleh Ibnu Tumart. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri,
dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf
membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih
Masyriq kepada tempat asalnya. Maka begitupun Ibnu Mada. Begitulah tutur Dhaif
tentang kajian Nahu menurut Ibnu Madha dalam karangannya yang mentahqiq kitab
karya Ibnu Mada’.
d.
Konsep Nahu menurut Ibnu Madha’
Ibnu Madha’ dalam
ketiga kitabnya benar-benar telah menyingkap paradigma baru dalam kajian Nahu. Ia telah mendobrak Nahu yang
sudah tersebar di kalangan masyarakat bahkan mendarah daging. Tetapi ia tidak
hanya menentang saja, tetapi menawarkan konsep baru yang menurutnya lebih
sederhana, di antaranya jika fiil mudhori’ yang sudah bernun taukid biasanya
dimasukan dalam bab Mabni, dia lebih sepakat jika itu dimasukan dalam bab
mansubat yang setara dengan fiil yang telah disandingi dengan oleh amil
nawasib.
Ia juga membuang bab Nawasikh dan memasukan kana pada
pembahasan fiil yang lain. Sedangkan di antara konsep Nahunya
yang kontradiksi dengan ulama Nahu lain sangat tampak adalah 4 teori yang
penjelasannya sebagai berilkut:
1) Membuang teori amil.
Amil adalah kata yang mempengaruhi harokat akhir kata,
apakah dibaca rafa, nasab,
khafad atau jazm.
Amil ini ada yang tampak/lafdzi seperti kana dkk dan tidak tampak/ ma’nawi
seperti ibtida yang merafakan
mubtada[5].
Teori amil ini dianggap membingungkan siswa, sehingga
praktek analisis filosofis seperti ini oleh Ibnu Madha’ tidak
efisien maka perlu untuk dikesampingkan. Karena menurutnya dan menurut Ibn Jinni
yang memengaruhi kalimat dibaca rafa, nasab, jar dan jazm adalah penutur.bukan
amil. Revolusi besar yang digagas Ibnu Madha’ dari unsur ini sangat memicu
perhatian dari para pakar ilmu Nahu karena unsur itu paling dominan yang
berkembang pada masa itu.
2) Mengilangkan Illat Tsawani dan Tsawalits.
Nahu yang berkembang di Andalusia memiliki karakteristik
yang lebih rasional dari pada Basroh karena pada saat bersamaan di Andalusia
sedang berkembang pengetahuan spekulatif. Misalnya ketika basroh menetapkan
hukum fail adalah rofa’ maka Nahu Andalusia lebih kritis lagi dengan melahirkan
wacana, mengapa rofa? Inilah ilat tsawani kemudian mempertanyakan lagi dan
itulah yang disebut ilat tsawalits[6].
Menurut Ibnu Madha’ ilat tsawani dan tsawalits ini sangat
menguras pikiran siswa dan sebenarnya tidak diperlukan dalam kelancaran dan
kefasihan berbicara. Dalam buku ushul an-Nahu, Ibnu madha berijtihad
mutlak bahwa ilat terbagi dua yaitu ilat awal dan ilat tsawani dan tsawalits.
Ilat awal bisa diketahui dari ucapan orang arab, sedangkan tsawani dan tsawalits
terlepas darinya.
Ilat adalah alasan, maksudnya alasan-alasan yang diberikan
dalam menganalisa kalimat dalam strukturnya, Illat tsawani maksudnya dua alasan
secara bertingkat contoh الطلاب
يدرسون lafaz يدرسون dibaca
rafa’ dan tanda rafa’nya dengan tetapnya nun. Alasan di atas belum selesai yang
diteruskan dengan satu alasan lagi nun yang digunakan sebagai tanda rafa’
dikarenakan يدرسون termasuk af’al al-khamsah.
Menurut Ibn Madha illat kedua dan ketiga di atas dapat
melelahkan fikiran yang tidak mempengaruhi kefasehan berbicara sama sekali.
3) Konsep Qiyas
Hipotesis penulis tentang Ibnu Madha’ adalah ia lebih
menitik beratkan konsep Sima’i. Dia bahkan
berijtiahad tidak perlu ada qiyas kecuali jika memang pernah ada yang
mendengarkan bahwa orang Arab pun pernah mengucapkannya.
Qiyas dalam Nahu adalah menganalogikan nash dalam bahasa
arab yang terkini pada nash yang sudah ada menurut kaidahnya. Ibnu madha’
menghilangkan teori qiyas karena teori ini sulit dicerna oleh siswa pemula, ia
menjelaskan bahwa ma’mul yang boleh terdiri dari masdar, zaraf dalam bab
tanazu tidak usah menjadi maqis alaih untuk maful.
Qiyas berarti menganalogikan, maksudnya, ketika fiil mudhari
dapat dikhususkan dengan menambah huruf sin maka menjadi khusus untuk zaman
yang akan datang demikian juga sama dengan isim yang bisa maknanya menjadi
spesifik ketika dikhususkan dengan al. Fiil mudhari dapat menerima lam ibtida’
sebagaimana isim. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan masalah.
4) Konsep Tawil
Tawil secara etimologi adalah at-tadbir, at-taqdir dan
at-tafsir, sedangkan secara terminology tawil adalah membelokan bahasa dari
makna dzohir pada makna yang dibutuhkan yang lebih tepat. Dalam tawil terdapat
4 komponen yaitu hadfu, istitar, pembentukan masdar dan memunculkan
kata/kalimat.
Menyikapi tentang kajian Ta’wil, pendapat ibnu Madha
senada dengan para ulama Nahu yang lain. Akan tetapi apabila kita mencoba
menelaahnya secara lebih dalam dan kritis kita akan menemukan ada sebuah
perbedaan.
Sebenarnya kajian Ta’wil tidak begitu diprioritaskan oleh
para ulama Nahu. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal antara lain : Ta’wil
hanya merupakan cabang atau atsar dari hal yang lain, Ta’wil hanya penampakan
atau imbas dari pemikiran Nahu yang lain maka ibnu Madha’ berpendapat bahwa
bahwa walaupun Ta’wil tidak krusial namun merupakan hal atau gagasan yang
berdiri sendiri.
Kemudian perbedaan juga kita dapati pada hal yang lain,
yaitu apabila para ulama Nahu yang lain menjadikan qoidah-qoidah bahasa dan
analogi/qiyas sebagai sumber berbahasa dan hal yang lain mengikutinya, maka
lain halnya Ibnu Madha’.
Dia menjadikan ucapan dan perkataan orang Arab sebagai
sumber utama kaidah berbahasa dan sementara hal-hal yang lain mengikutinya.
Ibnu Madha hanya menyetujui konsep hadfu pada kalimah isim.
2.
Kitab Tajdid
al-Nahw Karya Syauqi Dhaif
a. Biografi Syauqi Dhaif
Nama lengkapnya adalah Ahmad Syauqi Abd
Salam Dhaif. Ia lebih dikenal dengan Syauqi Dhaif. Di samping terkenal sebagai
sastrawan, ia juga pakar linguistik. Ia merupakan ketua himpunan peneliti
bahasa di Mesir. Ia lahir tahun 1910 di Propinsi Dimyat Selatan Mesir
.
b. Menurut Syauqi Dhaif
1)
Merefisi
kembali bab-bab Nahu
Yang dijelaskan dalam buku bahwa Dia
menghapus 18 bab yang tidak perlu dibahas yaitu :
a)
Kana
Wa’ikhwatuha
b)
Bab
ma, laa, laata yang beramal amal laisa
c)
Bab
kaada wa akhwatuha
d)
Bab
zhanna wa akhwatuha
e)
A’lama
wa akhawatuha
f)
At-tanazu’
g)
Isytighal
h)
Syifah musyabbahah
i)
Ism
tafdhil
j)
Bab
ta’ajub
k)
Af’al
madh wa ta’zhim
l)
Kinaayaat
Al-‘Adad
m)
Ikhthishas
n)
Tahdziir
o)
Al-Iqhra’
p)
Tarkhiim
q)
Istighatsah
r)
Bab
nadbah
2)
Penghapusan
‘irabain taqdiri dan mahally
Contoh : جاء الفتى Al-fata marfu’ dengan dhmamah yang ditaqdirkan menurut ahli Nahu
lainnya, tapi dia memandang marfu’nya fata cukup saja dengan fa’il زيد كتب الدرس. Jumlah ini pada tempat rafa’ syauqi dhaif mengibaratkan jumlah
ini dengan penjelasan kata zaidun marfu’.
3)
‘Irab
shihah Nuthqi
‘irab fungsinya untuk
membenarkan ucapan contoh : tatkala kita mengucapkan أكل أستاذ رزا akala ustadzu ruzzan.
4)
Memberikan
definisi dan aturan-aturan yang terperinci dalam bab Nahu[8].
Contoh : syauqi dhaif
memberikan defenisi yang lebih terperinci tentang bab bab Nahu seperti definisi
yang ditambahkannya pada pengertian maful mutthlaq, yang mana ibnu hisam dalam
kitabanya yang berjudul Audahul masall ila alfiyah ibnu malik yang
mendenifisikasi maful muthlaq itu sebagai isim yang menguatkan amilnya atau
yang menjelaskan jenis amilnya dan jumlahnya.
Pada defenisi ini Syauqi
Dhaif menambahkan kata-kata “bukan dalam posisi khabar” dan tidak pula posisi
hal, syauqi dhaif menambahkan defenisi ini untuk menguatkan bahwa khabar dan
hal memiliki dalalah yang sangat jauh berbeda dari dalalah maful muthlaq.
5)
Menghapus
penjelasan-penjelasan yang berlebihan
Seperti pertama kali
yang dilakukannya tentang pengehapusan syarat-syarat istiqaq isim tafdhil dan
fi’il ta’ajud menurutnya hal seperti ini cukup dibuat dengan cara mencontoh
bentuk katanya tanpa perlu menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pakar
bahwu[9].
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pembaharuan dalam nahu bertujuan untuk
mempermudah kita dalam memahami bahasa Arab yang notabene menjadi bahasa agama.
Hal ini mengandung arti bahwa perubahan ini adalah hal yang positif agar umat
mudah memahami agamanya. Pembaharuan yang ditawarkan oleh Ibn Madha’ dan Syauqi
Dhaif bertujuan untuk memudahkan memahami bahasa Arab
2.
Saran
Pembaharuan mesti terus dilakukan,
sehingga bahasa Arab tidak menjadi ‘momok’ yang menakutkan bagi pelajar. Semoga
makalah ini memberikan secercah cahaya tentang pembaharuan itu. Melengkapi
kekurangan makalah ini dengan kritik dan saran juga merupakan pembaharuan dalam
keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Dhaif, Syauqi. 1982. Tajdid
al-Nahw. Kairo: Dar al-Ma’arif
Farhun, Ibnu. T.t. al-Dibaj
al-Mazhab, Kairo: al-Sa’adah.
Id, Muhammad. 1989. Ushul
al-Nahwi al-Arabi. Kairo: Ilmu al-Kutub.
Madha’, Ibnu. t.t. Kitab al-Raddu ‘ala al-Nuhah, ditahqqiq
oleh Syauqi Dhaif. Kairo: Dar al-Ma’arif.
al-Saidy, Abd
al-Muta’al. 1977. al-Nahw al-Jadid, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabiy
Al-Suyuti,
t.t.
Baghyat al-Wi’ah.
Kairo:
al-Sa’adah.