Senin, 23 Juli 2012

MENILIK FIQH LUGHAH MELALUI OBJEK KAJIANNYA



ABSTRAK
Fiqh Lughah dan Ilmu Lughah merupakan dua kajian epistimologi bahasa. Kedua disiplin ilmu bahasa ini diawali kata fiqh dan ilm. Dua kata ini mengandung makna mengetahui dan memahami sesuatu. Kemiripan pengertian secara etimologi membuat kedua disiplin ilmu ini perlu diberi batasan yang jelas, khususnya dalam objek kajiannya. Hal ini bertujuan agar kajian Fiqh Lughah tidak berbaur dengan kajian Ilmu Lughah. Setelah dilakukan kajian, ditemukan tiga ranah objek kajian Fiqh Lughah. Pertama, kajian hubungan lafaz dengan lafaz. Ranah pertama ini membahas komparasi dengan bahasa Semit dan Bahasa Arab. Kedua, Kajian hubungan lafaz dengan makna. Ranah ini membahas tentang makna yang dihasilkan oleh bunyi dan makna yang diperoleh dari aneka jenis kamus. Ketiga, kajian lafaz dalam penerapannya. Ranah ketiga ini membahas tentang gharib, dakhil, maudhu’ (musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul), dan majaz.

Kata kunci: Fiqh Lughah, objek kajian

A.    Pendahuluan
Secara etimologi, Fiqh Lughah memiliki kesamaan makna dengan Ilmu Lughah[1]. Fiqh berarti ilm atau mengetahui dan memahami tentang sesuatu[2]. Akan tetapi, Fiqh Lughah dan Ilmu Lughah secara terminologi memiliki pengertian yang berbeda, begitu juga dengan metodologi dan ranah kajiannya.
Dilihat dari metodologi, Fiqh Lughah mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mempelajari peradaban atau sastra, sedangkan Ilmu Lughah mengkaji bahasa untuk kepentingan bahasa itu sendiri. Proses analisanya pun berbeda, meski dalam objek yang sama. Fiqh Lughah lebih menekankan kajian tentang historique comparative, sedangkan Ilmu Lughah sebatas kajian analisis deskriptive.
R.H Robin dalam Dr. Emil Badi Yaqub menjelaskan bahwa ranah kajian Fiqh Lughah lebih luas dibanding Ilmu Lughah. Fiqh Lughah memiliki tujuan akhir untuk mempelajari peradaban dan sastra melalui bahasa, sedangkan Ilmu Lughah terbatas pada analisa terhadap struktur kalimat saja[3]. Perbedaan yang telah diklasifikasikan oleh para linguis di atas akan dapat dipahami secara komperhensif jika objek kajian masing-masing ilmu dikaji lebih mendalam.
Argumentasi di atas menjadi alasan pentingnya untuk mengkaji Fiqh Lughah dengan mengetahui batasan objek kajiannya. Pada artikel ini akan dibahas tentang objek-objek kajian Fiqh Lughah. Pertama, hubungan lafaz dengan lafaz. Kedua, hubungan lafaz dengan makna. Ketiga, hubungan lafaz dengan penerapannya.


B.     Pembahasan

Objek kajian Fiqh Lughah berbeda dengan Ilmu Lughah. Jika kajian Ilmu Lughah cenderung mengkaji morfologi, fonem, dan sintaksis, sedangkan Fiqh Lughah mengkaji lafaz (kata) yang berhubungan dengan morfem, morfologi, sintaksis tersebut, baik yang berhubungan dengan kata lain, dengan makna, maupun dalam penerapannya[4]. Secara rinci pemakalah uraikan di bawah ini.
1.      Hubungan lafaz dengan lafaz (علاقة اللفظ باللفظ)
a.       Komparasi dengan bahasa Semit (مقارنات سامية)

Komparasi dengan bahasa Semit memiliki arti bahwa Fiqh Lughah mengkaji secara history tentang perkembangan bahasa pada abad-abad permulaan. Ketika itu para teolog Yahudi dan Nasrani merasakan perlunya mengkaji bahasa untuk memahami kitab-kitab suci mereka.
Pada tahun 1798 M, di mana terjadinya perkembangan pengkajian bahasa Semit, perhatian terhadap bahasa mengalami perkembangan pesat sehingga tidak berfokus pada kajian bahasa kitab suci saja. Kajian terhadap perbandingan bahasa Semit membantu menyingkap fenomena-fenomena yang terdapat dalam bahasa Arab. Hal ini menyebabkan para pengkaji bahasa mampu memberikan interpretasi terhadap hal-hal yang masih dianggap membingungkan. Inilah yang menjadi objek kajian Fiqh Lughah.

b.      Komparasi dengan bahasa Arab (مقارنات عربية)
Pada bagian ini, kajian Fiqh Lughah akan membahas perbandingan dialek-dialek dalam rumpun bahasa Arab. Kajiannya tentu tidak berbentuk deskriptif terhadap dialek yang ada, seperti yang menjadi kajian ilmu nahwu, tetapi berfokus kepada faktor penyebab atau alasan terjadinya perbedaan dialek pada bahasa Arab itu.

2.      Hubungan lafaz dengan makna (علاقة اللفظ بالمعنى)
Hubungan lafaz dengan makna terbagi menjadi dua bagian. Pertama, makna jaras yaitu makna yang ditimbulkan dari bunyi. Kedua, makna kata berdasarkan kamus.
a.       Makna bunyi (الجرس)
Seperti yang telah dikemukakan oleh para linguis, bahwa kajian Fiqh Lughah dalam hal bunyi adalah sekitar hubungan antara fenomena bunyi kata dan pengaruhnya terhadap kondisi saat bunyi kata itu terdengar. Kajian bunyi ini terbagi dua, yaitu muhakah dan taklif. Masing-masing akan dijelaskan dengan rinci.

1)      Muhakah (المحاكة)
Muhakah adalah bunyi kata yang menunjukkan makna tertentu. Fenomena bahasa ini dikenalkan pertama kali oleh linguis Ighriq dengan nama ono mato poeia. Fenomena ini terdapat pada semua bahasa manusia. Sebagian mereka menyebutnya sebagai perkembangan bahasa yang pertama.
Para linguis menjadikan bahasa sebagai pemberi berita terhadap suara dalam perkembangannya. Seperti kata-kata: الخرير, الفحيح, atau الحفيف. Demikian juga dengan kata قطف, قطع, dan قطم. Kajian terhadap kata-kata ini hanya terhadap kosa katanya, bukan dalam hal qaidah, yang menjadi objek kajian Ilmu Lughah.

2)      Taklif (التأليف)
Taklif adalah kajian terhadap susunan atau bangunan kata. Apakah huruf-huruf pembentuk kata itu dinilai bagus atau tidak. Kata tersebut dinilai berdasarkan kedekatan makhraj (tempat keluarnya huruf). Seperti مستشزرات dan الهعخ.
b.      Makna Kamus (المعجمي)
Unsur terakhir dalam hubungan bahasa dengan makna dalam Fiqh Lughah adalah makna yang diperoleh dari kamus. Beragam kamus telah dibuat oleh para linguis sebagai bentuk perkembangan bahasa. Kelompok kamus tersebut akan diuraikan berikut ini.
1)      Kamus objek tertentu (معاجم موضوعات خاصة)
a)      Rasail Maudhu’at (رسائل الموضوعات)
Kamus ini memuat kata-kata yang sering digunakan dalam keseharian, bahkan ada yang mengikutsertakan tarkib dan susunan kalimat. Kata-katanya memuat objek tertentu, seperti tentang senjata dan sebagainya. Di antara objek kajian dalam risalah ini adalah sebagai berikut.
(1)     Risalah Lingkungan Arab Gurun, seperti risalah tentang hujan karya Abi Zaid dan Alashmai, risalah tentang badai karya Abu Hanifah Addainury, risalah tentang awan dan hujan karya Ibnu Daryad.
(2)     Risalah Hewan, seperti risalah penciptaan hewan karya Alashmai, risalah tentang kuda karya Ibnu Qutaibah, risalah tentang onta dan kambing karya Alashmai, dan risalah tentang burung karya Ibnu Abi Hatim.
(3)     Risalah Tumbuhan, risalah tentang tumbuhan karya Abu Hanifah, Alashmai, dan Abu Zaid.

b)      Mutaradif (المترادف)
Mutaradif memiliki makna yang sejajar dengan sinonim. Kamus sinonim berisi padanan dari kata, di antaranya terdapat pada kamus Raudhul Makluf Fima Lahu Ismani Ila Uluf karya Alfayr dan Zubadi
c)      Adhdad (الأضداد)
Adhdad adalah satu kata memiliki dua makna yang berlawanan[5]. Di antara risalah yang memuat adhad adalah kamus yang dibuat oleh Qithrib, Ibnu Sakkit, Abu Bakr Alanbary, Abu Barakat bin Alanbary, Atawazi, dan Ashaghani.

d)      Musytarak Lafzy (المشترك اللفظي)
Musytarak lafzy adalah beragamnya makna sebuah kata. Di antara risalah yang memuat musytarak lafzy ini dibuat oleh Alashmai dan Ibnu Abi Hatim Assajastani.

e)      Furuq (الفروق)
Al-Furuq merupakan perbedaan-perbedaan dalam bahasa. Kata berbeda namun memiliki arti yang berdekatan dan memiliki muatan makna yang berbeda. Tokoh yang telah membuat risalah al-Furuq adalah Yaqub bin Sakkit dan Abu Hilal Alasykari.

f)       Kamus sains dan teknologi (معاجم فنية)
Kamus ini baru muncul dan berkembang pada masa belakangan ini. Di antara contohnya adalah Kasyaf karya Atahanuwi, Tarif karya Aljurjani, dan Kulliyat karya Abu Baqa Alhusaini.

2)      Kamus Makna (معاجم المعنى)
Kamus ini merupakan kamus yang disusun berdasarkan susunan makna yang khusus. Berdasarkan urutan makna itulah disusun kata-kata bahkan tarkibnya. Di antara contoh kamus ini adalah kitab Alfaz karya Ibnu Sakkit, Tahzib Kitab Alfaz karya Atabrizi, Alfaz alkitabiyah karya Hamzani, Mabadi Lughah karya Aliskafi, dan Almukhashash karya Ibnu Sayyiduh.

3)      Kamus Lafaz (معاجم الألفاظ)
Kamus lafaz berbeda dengan kamus makna. Kamus ini disusun berdasarkan susunan kata kemudian diberi maknanya. Penyusunan kamus yang satu dengan yang lain terdiri atas beragam metoda. Setidaknya terdapat dua jenis, yaitu penyusunan secara fonemik berdasarkan makhraj dan penyusunan berdasarkan huruf hijaiyah.

a)      Penyusunan secara fonemik berdasarkan makhraj terdapat pada kamus seperti kamus Al-Ain karya Khalil, Albari’ karya Alqali, Tahzibul Lughah karya Alazhary, Almuhith karya Shahib Ibn Ibad.

b)      Penyusunan berdasarkan huruf hijaiyah sesuai urutan huruf. Pembagian penyusunannya akan diuraikan berikut ini.
(1)   Susunan kata-katanya beraturan. Terkadang menggunakan taqlibul huruf seperti pada kamus Aljamharah karya Ibn Duraid, dan dengan nizham tatabu daury seperti kamus Maqayis Lughah karya Ibn Faris. Secara rinci terlihat dalam table di bawah ini.
الحرف
البدء
الانتهاء
ب
بب
بأ
ت
تت
تب

Tabel 1: Kamus dengan susunan kata-kata yang beraturan

(2)   Susunan kata-katanya tidak berpedoman kepada tertib kata. Jenis kamus ini terdapat dua macam. Pertama, urutannya berdasarkan huruf awal kata seperti kamus Aljim karya Asyaibani dan Asasul Balaghah karya Zamakhsyari, Almishbah karya Alfuyumi, serta kamus-kamus moderen menggunakan susunan ini. Kedua, susunannya berdasarkan huruf terakhir kata, seperti kamus Diwanul Adab karya Alfarabi dan Lisanul Arab karya Ibn Manzur.

3.      Hubungan lafaz dengan penggunaan / penerapan (علاقة اللفظ بالاستعمال)
a.       Gharib (غريب)
Gharib adalah kosa kata yang jarang atau tidak masyhur penggunaannya dalam keseharian. Kata tersebut tidak diketahui kecuali setelah melewati kajian tertentu. Ia dapat didefenisikan juga sebagai kosa kata asli bahasa Arab yang tidak memakai kaidah bahasa Arab yang masyhur.
Kosa kata yang dipandang gharib ini ada kalanya diambil dari Alquran, seperti yang terdapat dalam kitab Gharibul Quran karya Muarij Assudusy dan Gharibul Quran karya Abu Hatim Assajastani. Ada yang diperoleh dari kitab Hadis Nabi Muhammad SAW, seperti kitab yang dikarang oleh Abu Ubaidah, Alashmai dan sebagainya.
Terdapat juga kitab yang memuat kata-kata gharib dari Alquran dan Hadis, seperti pada kitab Gharibul Quran wa Gharibul Hadis karya Ibn Khurath, Alharwi, dan Almadini. Disamping itu, ada yang diambil dari kalam orang Arab, seperti pada kitab Gharibul Mushnif karya Ibn Salam, Gharibul Lughah dan Kitab Gharibul Lughah wa Musykilul Quran karya Ibn Qutaibah.

b.      Dakhil (دخيل)
Dakhil dalam definisi para linguis memiliki dua jenis, yaitu muarrab dan muwallad. Adapun perbedaan dari dua jenis ini hanya sekitar waktu saja. Mana yang lebih dahulu dan mana yang terjadi baru-baru ini. Meskipun pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama. Dua jenis itu akan dijelaskan berikut ini.
1)      Muarrab (معرب)
Muarrab dalam istilah Bahasa Indonesia sejajar dengan serapan. Muarrab adalah proses menyerap kata asing dengan cara adaptasi berdasarkan aturan bahasa Arab dan kebiasaan tutur kata orang Arab atau dengan cara adaptasi dari segi tashrif.
Sebagian linguis Arab ada yang tidak setuju dengan adanya serapan dalam bahasa Arab. Alasan mereka adalah bahwa serapan menunjukkan ketidakmurnian bahasa. Akan tetapi, mayoritas linguis telah sepakat bahwa terjadinya serapan sebagai bentuk kedinamisan sebuah bahasa.
Di antara buktinya adalah bahwa dalam Alquran sendiri terdapat kata serapan dari bahasa lain. Ketika Alquran diturunkan maka kata-kata itu menjadi bahasa Arab, seperti kata الصراط, السندس, الاستبرق, القنطار, الدينار, dan sebagainya.
2)      Muwallad (مولد)
Muwallad merupakan sisi lain dari muarrab. Pola muwallad ini baru muncul pada Dinasti Abasiyah. Hal ini terjadi saat terjadinya penerjemahan besar-besaran terhadap buku-buku asing. Para penerjemah telah berupaya membuat padanan huruf yang tidak ditemukan dalam bahasa Arab yang mendekati fonem Arab.
Di antara huruf yang tidak terdapat dalam bahasa Arab adalah huruf C yang ditulis dengan huruf ق, contoh: موسيقي (music), dan huruf V yang ditulis dengan huruf ب atau و, seperti الأوستا (vista). Akan tetapi, bagaimanapun juga hal ini tidak bisa dijadikan patokan, sebab Fiqh Lughah tidak berfokus pada kaidah-kaidah.
Sebagai bukti, kita dapat menemukan serapan secara adopsi langsung dari bahasa asing yang menyalahi kaidah tashrif seperti التلفزيون (televisi).
Dari penjelasan ini dapat dipahami pembeda antara muarrab dengan muwallad. Jika para pendahulu mengadakan muarrab --menyerap bahasa asing tetapi disesuaikan dengan kaidah bahasa Arab-- untuk kemurnian bahasa, maka para linguis moderen melakukan muwallad --memberikan kebebasan dalam penyerapan bahasa asing-- tanpa terpaku kepada kaidah bahasa Arab (serapan-adopsi) untuk kepentingan keilmuan.
Di antara kitab yang mengkaji tentang fenomena serapan ini adalah Kitab Ma Warada fil Quran min Lughatil Qabail karya Ibn Salam Aljumha, Kitab Qasdu Sabil fima fil Arabiyah minad Dakhil karya Dimasyqi, dan Almuarrab min Alfazil Quranil Karim karya Syekh Hamzah Fathullah.

c.       Maudhu’ (موضوع)
Dalam hal ini, ada beragam pertanyaan muncul dalam benak kita tentang Fiqh Lughah. Di antaranya adalah kenapa kita juga membahas tentang musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul dalam Fiqh Lughah, di mana sudah kita pelajari pada nahwu dan atau ushul nahwi. Apa perbedaan kajian pada kedua disiplin ilmu ini dan sebagainya.
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah bahwa kajian Fiqh Lughah terbatas pada penerapan dari semua istilah di atas. Lebih rinci akan kita temukan dalam penjelasan di bawah ini.
1)      Musytaq (مشتق)
Musytaq merupakan proses membuat sebuah kata yang diambil dari satu kata lain atau lebih yang sesuai lafaz dan maknanya. Seperti kata طالب yang berasal dari kata طلب. Kajian Fiqh Lughah tidak sekedar mencari apa asal dari kata itu serta kaidah-kaidahnya, seperti yang dibahas dalam ranah Ilmu Lughah. Akan tetapi lebih mengkaji dan mengamati kepada jenis dan perbedaan makna yang ditimbulkan oleh perbedaan bentuk kata turunan tersebut.


2)      Manhut (منجوت)
Manhut adalah sebuah kata yang diambil dari dua kata lain atau lebih. Kata ini menjadi istilah tertentu. Di antara contoh manhut ini adalah البسملة yang berasal dari kata بسم الله.
3)      Murtajal (مرتجل)
Murtajal adalah sebuah istilah baru yang muncul dari seorang yang terpandang dan tinggi tingkat kafasihannya, dimana belum pernah ada istilah tersebut sebelumnya.

4)      Mulhaq (ملحق)
Mulhaq adalah menambah huruf dalam sebuah kata kemudian ditasrif berdasarkan kaidah asalnya. Seperti ب, ل, ج, menjadi جلبب.
5)      Ma’dul (معدول)
Fenomena ma’dul telah masyhur pada bahasa Arab. Wazan kata terdapat dalam tasrif, namun ia tidak bisa ditasrif. Seperti kata عمر.

d.      Majaz (مجاز)
Seperti yang kita kenal bahwa majaz merupakan kajian Ilmu Balaghah. Pertanyaannya, kenapa terdapat dalam objek kajian Fiqh Lughah? Jawabannya adalah karena majaz berhubungan dengan lafaz dan kaitannya dengan penerapan bahasa.

C.    Simpulan
Dari uraian di atas dapat dipahami perbedaan yang jelas antara Fiqh Lughah dengan Ilmu Lughah. Fiqh Lughah membahas tentang kosa kata dan penerapannya, baik yang berkaitan dengan lafaz, makna, maupun penerapannya dalam kalimat. Fiqh Lughah tidak membahas struktur dan kaidah-kaidah bahasanya. Dengan kata lain, Fiqh Lughah membahas sesuatu yang yang berubah-ubah (multi intrepertasi), tidak yang tetap. Memahami objek kajian Fiqh Lughah menjadi salah satu jalan agar terjaga dari pembauran dengan kajian Ilmu Lughah.
Hasil kajian ini dapat dijadikan kajian awal bagi para peminat kajian linguistik untuk mengenal Fiqh Lughah. Diharapkan lahirnya beragam kajian lain setelah pembaca menelaah tulisan ini.



Daftar Pustaka

Alhamd, Muhammad bin Ibrahim. 2005. Fiqh Lughah. Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah.
Hasan, Tamam. 2000. Al-Ushul. Kairo: Alamul Kutub.
Manzhur, Ibn. t.t. Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir.
Yaqub, Emil Badi. 1982. Fiqh Lughah Arabiyah Wa Khashaishiha. Beirut: Daru Tsaqafah Islamiyah.


[1] Dr. Emil Badi Yaqub, Fiqh Lughah Arabiyah Wa Khashaishiha, (Beirut: Daru Tsaqafah Islamiyah, 1982), h. 28
[2] Ibn Manzhur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir), h. 522
[3] Dr. Emil Badi Yaqub, Op. Cit. h.34
[4] Dr. Tamam Hasan, Al-Ushul, (Kairo: Alamul Kutub, 2000) h.248
[5] Muhammad bin Ibrahim Alhamd. Fiqh Lughah. (Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah, 2005) h.187

2 komentar:

NASIB ASMARA BERBANDING LURUS DENGAN MUKA?

Ketika belum ada gawai, surat cinta menjadi primadona dalam menyampaikan pesan cinta. Waktu itu, meski hampir 250 kali membuat surat ci...