Senin, 23 Juli 2012

PEMBAHARUAN DALAM NAHU

(Kajian pada Kitab al-Raddu ‘ala al-Nuhah Karya Ibn Madha’ dan Tajdidun al-Nahw Karya Syauqi Dhaif)

 
A.    PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu Nahu hingga medio abad ke-6 mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini terlihat dari meluasnya kajian ilmu tersebut sehingga banyak melahirkan teori-teori, ilmuawan-ilmuwan yang tersohor dengan kedalaman ilmunya dalam nahu, dan terbitnya buku-buku yang mengkaji nahu secara komperhensif.
Perkembangan tersebut, pada satu sisi, memiliki andil positif dalam pertambahan khazanah keilmuwan. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini memberikan gambaran bagi sebagian pelajar pemula ilmu Nahu akan keruwetan dan susahnya mempelajari ilmu tersebut.
Melihat kondisi seperti ini, para ilmuwan dalam ilmu Nahu berupaya untuk melakukan pembaharuan dalam ilmu ini agar mudah dipahami oleh pelajar pemula, terkhusunya bagi penutur bahasa non Arab.
Di antara ilmuwan yang melakukan pembaharuan itu adalah Ibnu Madha’. Setidaknya terdapat tiga buah karyanya yang memuat kajian tentang pembaharuan ilmu Nahu. Salah satu dari ketiga kitab tersebut, yang berjudul Kitab al-Raddu ‘ala Nuhah ditahqiq oleh Dr. Syauqi Dhaif. Setelah mentahqiq kitab Ibn Madha’, Dr. Syauqi Dhaif terinspirasi untuk membuat buku dengan judul Tajdidun Nahw.
Dalam makalah ini, penulis akan mengkaji kedua kitab tersebut. Kajian yang bersifat deskriptif tentang inovasi yang telah dilakukan oleh kedua tokoh pembaharu tersebut.


B.     PEMBAHASAN
1.      Kitab al-Raddu ‘ala al-Nuhah Karya Ibn Madha’
a.       Biografi Ibn Madha’dan karyanya
Nama lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Said bin Haris bin Asim Ibnu Madha, Dia dijuluki Abu Abbas, Abu al-Qasim, dan Abu Jafar. Akan tetapi, ia lebih dikenal dengan julukan Ibnu Madha[1].
Dia lahir di Cordova pada tahun 512 M dan meninggal pada tahun 592 M di Isybiliyah. Selain seorang pakar Nahu, dia juga ahli fiqih dan pernah menjabat menjadi hakim[2].
Dalam bidang keilmuan, pada abad ke 6 H, ia telah menulis 3 buku yang sangat monumental walaupun pernah terhenti dan muncul kembali pada abad 14 H / 20 M. Tiga buku itu adalah:
1)      الرد على النحاة
2)      المشرق في النحو
3)      تنزيه القرآن عما لايليق بالبيان
Ibnu mada’ adalah ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti Muwahidun yang dipelipori oleh Ibnu Tumart.

b.      Perjalanan Akademik.
Walaupun Ibnu Madha dikenal sebagai pembaharu dalam kajian epistemology Ilmu Nahu, namun hal tersebut tidak serta merta membuatnya melupakan dan menafikan ilmu-ilmu yang lain. Selain mempelajari ilmu Nahu, belau juga belajar ilmu Fiqih dan ilmu yang berkenaan dengan tata bahasa Arab. Untuk bidang ilmu Fiqih, dia sempat belajar kepada ibnu al-Araby, Bathrujiy, Rosyaathy, dan Abu Muhamad ibn al-Munasif.
Dalam bidang ilmu tata bahasa Arab, dia pernah belajar kepada Abu Bakar bin Sulaiman bin Sahnun dan Ibnu al-Roma yang pernah mengkaji kitab imam Sibawaih, gurunya yang terakhir adalah Ibnu Bisyakwal. Sedangkan guru besarnya adalah Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi (100-175 H), penggagas ilmu Nahu[3].

c.       Latar Belakang Kajian Nahu Ibnu Madha.
Aliran Basroh dengan panglima besarnya Sibawaih, telah mengantarkan Nahu pada perkembangan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan berkiblatnya para pakar Nahu padanya. Kitabnya yang sering disebut Alkitab –padahal Sibawaih belum sempat memberinya judul- tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut[4].
Kitab yang dikarang Sibawaih ini benar-benar merupakan karya monumental karena pada abad ke 2 di mana Dunia dan Islam pada masa terpuruk, tetapi Sibawaih telah memamerkan kitabnya yang terdiri dari 820 bab. Tidak hanya di daerah Basroh saja, konsep Nahu yang digagas oleh Imam Sibawaih juga menyebar hingga ke Mesir dan Andalusia, sehingga hampir semua ahlii Nahu dari ke 2 negara itu berkiblat kepada Imam Sibawaih.
Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki guru besarnya yaitu Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi (100-175 H), yang dalam sejarah, kemashurannya dikalahkan oleh Sibawaih. Khalil adalah perintis Sintaksis Bahasa Arab yang konsep-konsep Nahunya banyak diterapkan oleh Sibawaih dalam kitabnya.
Al-Khalil adalah orang yang membuat istilah-istilah Nahu seperti mubtada’, khabar, maf’ul bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Dia juga yang mengistilahkan rafa’, nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah, dan mengistilahkan harakat mabni dengan dhamah, fathah, kasrah, dan waqaf (sukun).
Dia sangat menguasai logika Aristoteles. Ada dua konsepnya yang sangat dipengaruhi oleh filsafat, yaitu konsep tentang ‘amil dan ma’mul, Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat yaitu pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’rab, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘amil.
Dia juga menggagas dasar epistemologi Nahu yang meliputi sima’, qiyas dan ta’lil dan menghadirkan istilah ta’wil dan pengecualian jika terdapat contoh ucapan yang bertentangan dengan kaidah yang dia tetapkan. Misalnya, Dia menetapkan bahwa hal harus dibentuk dari isim nakirah. Nah, ketika muncul hal berupa isim ma’rifat dia melakukan ta’wil atau pengalihan asumsi dari yang tampak.
Namun pada abad ke-6 M. Munculah seorang pakar Nahu yaitu Ibnu Mada yang menggoyahkan mazhab itu dan dia menyusun konsep Nahu yang lebih praktis dengan menghapus beberapa bagian bab dan teori yang dikira arelevansi dengan Nahu yang mempersulit palajar untuk mempelajari ilmu Nahu dan mengembalikan Nahu pada pondasi awalnya dengan maksud mempermudah dan memperingkas.
Dia berapologi bahwa konsep Nahu yang sudah tersebar dan tertumpu pada Imam Sibawaih telah memperumit kajian Nahu sehingga ia membuat konsep baru yang merobohkan pondasi Imam Sibawaih lewat 3 bukunya yang sudah dipaparkan.
Dia adalah ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti Muwahidun yang dipelipori oleh Ibnu Tumart. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya. Maka begitupun Ibnu Mada. Begitulah tutur Dhaif tentang kajian Nahu menurut Ibnu Madha dalam karangannya yang mentahqiq kitab karya Ibnu Mada’.

d.      Konsep Nahu menurut Ibnu Madha’
Ibnu Madha’ dalam ketiga kitabnya benar-benar telah menyingkap paradigma baru dalam kajian Nahu. Ia telah mendobrak Nahu yang sudah tersebar di kalangan masyarakat bahkan mendarah daging. Tetapi ia tidak hanya menentang saja, tetapi menawarkan konsep baru yang menurutnya lebih sederhana, di antaranya jika fiil mudhori’ yang sudah bernun taukid biasanya dimasukan dalam bab Mabni, dia lebih sepakat jika itu dimasukan dalam bab mansubat yang setara dengan fiil yang telah disandingi dengan oleh amil nawasib.
Ia juga membuang bab Nawasikh dan memasukan kana pada pembahasan fiil yang lain. Sedangkan di antara konsep Nahunya yang kontradiksi dengan ulama Nahu lain sangat tampak adalah 4 teori yang penjelasannya sebagai berilkut:

1)      Membuang teori amil.
Amil adalah kata yang mempengaruhi harokat akhir kata, apakah dibaca rafa, nasab, khafad atau jazm. Amil ini ada yang tampak/lafdzi seperti kana dkk dan tidak tampak/ ma’nawi seperti ibtida yang merafakan mubtada[5].
Teori amil ini dianggap membingungkan siswa, sehingga praktek analisis filosofis seperti ini oleh Ibnu Madha tidak efisien maka perlu untuk dikesampingkan. Karena menurutnya dan menurut Ibn Jinni yang memengaruhi kalimat dibaca rafa, nasab, jar dan jazm adalah penutur.bukan amil. Revolusi besar yang digagas Ibnu Madha’ dari unsur ini sangat memicu perhatian dari para pakar ilmu Nahu karena unsur itu paling dominan yang berkembang pada masa itu.

2)      Mengilangkan Illat Tsawani dan Tsawalits.
Nahu yang berkembang di Andalusia memiliki karakteristik yang lebih rasional dari pada Basroh karena pada saat bersamaan di Andalusia sedang berkembang pengetahuan spekulatif. Misalnya ketika basroh menetapkan hukum fail adalah rofa’ maka Nahu Andalusia lebih kritis lagi dengan melahirkan wacana, mengapa rofa? Inilah ilat tsawani kemudian mempertanyakan lagi dan itulah yang disebut ilat tsawalits[6].
Menurut Ibnu Madha’ ilat tsawani dan tsawalits ini sangat menguras pikiran siswa dan sebenarnya tidak diperlukan dalam kelancaran dan kefasihan berbicara. Dalam buku ushul an-Nahu, Ibnu madha berijtihad mutlak bahwa ilat terbagi dua yaitu ilat awal dan ilat tsawani dan tsawalits. Ilat awal bisa diketahui dari ucapan orang arab, sedangkan tsawani dan tsawalits terlepas darinya.
Ilat adalah alasan, maksudnya alasan-alasan yang diberikan dalam menganalisa kalimat dalam strukturnya, Illat tsawani maksudnya dua alasan secara bertingkat contoh الطلاب يدرسون  lafaz يدرسون  dibaca rafa’ dan tanda rafa’nya dengan tetapnya nun. Alasan di atas belum selesai yang diteruskan dengan satu alasan lagi nun yang digunakan sebagai tanda rafa’ dikarenakan يدرسون  termasuk af’al al-khamsah.
Menurut Ibn Madha illat kedua dan ketiga di atas dapat melelahkan fikiran yang tidak mempengaruhi kefasehan berbicara sama sekali.

3)      Konsep Qiyas
Hipotesis penulis tentang Ibnu Madha’ adalah ia lebih menitik beratkan konsep Sima’i. Dia bahkan berijtiahad tidak perlu ada qiyas kecuali jika memang pernah ada yang mendengarkan bahwa orang Arab pun pernah mengucapkannya.
Qiyas dalam Nahu adalah menganalogikan nash dalam bahasa arab yang terkini pada nash yang sudah ada menurut kaidahnya. Ibnu madha’ menghilangkan teori qiyas karena teori ini sulit dicerna oleh siswa pemula, ia menjelaskan bahwa ma’mul yang boleh terdiri dari masdar, zaraf dalam bab tanazu tidak usah menjadi maqis alaih untuk maful.
Qiyas berarti menganalogikan, maksudnya, ketika fiil mudhari dapat dikhususkan dengan menambah huruf sin maka menjadi khusus untuk zaman yang akan datang demikian juga sama dengan isim yang bisa maknanya menjadi spesifik ketika dikhususkan dengan al. Fiil mudhari dapat menerima lam ibtida’ sebagaimana isim. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan masalah.

4)      Konsep Tawil
Tawil secara etimologi adalah at-tadbir, at-taqdir dan at-tafsir, sedangkan secara terminology tawil adalah membelokan bahasa dari makna dzohir pada makna yang dibutuhkan yang lebih tepat. Dalam tawil terdapat 4 komponen yaitu hadfu, istitar, pembentukan masdar dan memunculkan kata/kalimat.
Menyikapi tentang kajian Ta’wil, pendapat ibnu Madha senada dengan para ulama Nahu yang lain. Akan tetapi apabila kita mencoba menelaahnya secara lebih dalam dan kritis kita akan menemukan ada sebuah perbedaan.
Sebenarnya kajian Ta’wil tidak begitu diprioritaskan oleh para ulama Nahu. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal antara lain : Ta’wil hanya merupakan cabang atau atsar dari hal yang lain, Ta’wil hanya penampakan atau imbas dari pemikiran Nahu yang lain maka ibnu Madha’ berpendapat bahwa bahwa walaupun Ta’wil tidak krusial namun merupakan hal atau gagasan yang berdiri sendiri.
Kemudian perbedaan juga kita dapati pada hal yang lain, yaitu apabila para ulama Nahu yang lain menjadikan qoidah-qoidah bahasa dan analogi/qiyas sebagai sumber berbahasa dan hal yang lain mengikutinya, maka lain halnya Ibnu Madha’.
Dia menjadikan ucapan dan perkataan orang Arab sebagai sumber utama kaidah berbahasa dan sementara hal-hal yang lain mengikutinya. Ibnu Madha hanya menyetujui konsep hadfu pada kalimah isim.

2.      Kitab Tajdid al-Nahw Karya Syauqi Dhaif
a.       Biografi Syauqi Dhaif
Nama lengkapnya adalah Ahmad Syauqi Abd Salam Dhaif. Ia lebih dikenal dengan Syauqi Dhaif. Di samping terkenal sebagai sastrawan, ia juga pakar linguistik. Ia merupakan ketua himpunan peneliti bahasa di Mesir. Ia lahir tahun 1910 di Propinsi Dimyat Selatan Mesir
.
b.      Menurut Syauqi Dhaif
Pembaharuan Nahu yang dilakukan oleh Syauqi Dhaif dalam dalam bukunya ada 18 bab[7], di antaranya :
1)      Merefisi kembali bab-bab Nahu
Yang dijelaskan dalam buku bahwa Dia menghapus 18 bab yang tidak perlu dibahas yaitu :
a)      Kana Wa’ikhwatuha
b)      Bab ma, laa, laata yang beramal amal laisa
c)      Bab kaada wa akhwatuha
d)     Bab zhanna wa akhwatuha
e)      A’lama wa akhawatuha
f)       At-tanazu
g)      Isytighal
h)      Syifah musyabbahah
i)        Ism tafdhil
j)        Bab ta’ajub
k)      Af’al madh wa ta’zhim
l)        Kinaayaat Al-‘Adad
m)    Ikhthishas
n)      Tahdziir
o)      Al-Iqhra’
p)      Tarkhiim
q)      Istighatsah
r)       Bab nadbah

2)      Penghapusan ‘irabain taqdiri dan mahally
Contoh : جاء الفتى Al-fata marfu’ dengan dhmamah yang ditaqdirkan menurut ahli Nahu lainnya, tapi dia memandang marfu’nya fata cukup saja dengan fa’il زيد كتب الدرس. Jumlah ini pada tempat rafa’ syauqi dhaif mengibaratkan jumlah ini dengan penjelasan kata zaidun marfu’.

3)      ‘Irab shihah Nuthqi
‘irab fungsinya untuk membenarkan ucapan contoh : tatkala kita mengucapkan أكل أستاذ رزا akala ustadzu ruzzan.

4)      Memberikan definisi dan aturan-aturan yang terperinci dalam bab Nahu[8].
Contoh : syauqi dhaif memberikan defenisi yang lebih terperinci tentang bab bab Nahu seperti definisi yang ditambahkannya pada pengertian maful mutthlaq, yang mana ibnu hisam dalam kitabanya yang berjudul Audahul masall ila alfiyah ibnu malik yang mendenifisikasi maful muthlaq itu sebagai isim yang menguatkan amilnya atau yang menjelaskan jenis amilnya dan jumlahnya.
Pada defenisi ini Syauqi Dhaif menambahkan kata-kata “bukan dalam posisi khabar” dan tidak pula posisi hal, syauqi dhaif menambahkan defenisi ini untuk menguatkan bahwa khabar dan hal memiliki dalalah yang sangat jauh berbeda dari dalalah maful muthlaq.

5)      Menghapus penjelasan-penjelasan yang berlebihan
Seperti pertama kali yang dilakukannya tentang pengehapusan syarat-syarat istiqaq isim tafdhil dan fi’il ta’ajud menurutnya hal seperti ini cukup dibuat dengan cara mencontoh bentuk katanya tanpa perlu menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pakar bahwu[9].


C.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pembaharuan dalam nahu bertujuan untuk mempermudah kita dalam memahami bahasa Arab yang notabene menjadi bahasa agama. Hal ini mengandung arti bahwa perubahan ini adalah hal yang positif agar umat mudah memahami agamanya. Pembaharuan yang ditawarkan oleh Ibn Madha’ dan Syauqi Dhaif bertujuan untuk memudahkan memahami bahasa Arab

2.      Saran
Pembaharuan mesti terus dilakukan, sehingga bahasa Arab tidak menjadi ‘momok’ yang menakutkan bagi pelajar. Semoga makalah ini memberikan secercah cahaya tentang pembaharuan itu. Melengkapi kekurangan makalah ini dengan kritik dan saran juga merupakan pembaharuan dalam keilmuan.



DAFTAR PUSTAKA



Dhaif, Syauqi. 1982. Tajdid al-Nahw. Kairo: Dar al-Ma’arif
Farhun, Ibnu. T.t. al-Dibaj al-Mazhab, Kairo: al-Sa’adah.
Id, Muhammad. 1989. Ushul al-Nahwi al-Arabi. Kairo: Ilmu al-Kutub.
Madha’, Ibnu. t.t.  Kitab al-Raddu ‘ala al-Nuhah, ditahqqiq oleh Syauqi Dhaif. Kairo: Dar al-Ma’arif.
al-Saidy, Abd al-Muta’al. 1977. al-Nahw al-Jadid, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabiy
Al-Suyuti, t.t. Baghyat al-Wi’ah. Kairo: al-Sa’adah.


[1] Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Mazhab, (Kairo: al-Sa’adah, t.t), h.47
[2] Al-Suyuti, Baghyat al-Wi’ah,( (Kairo: al-Sa’adah, t.t), h. 139
[3] Ibnu Farhun, Op. Cit, h. 48
[4] Muhammad Id, Ushul al-Nahwi al-Arabi (Kairo: Ilmu al-Kutub, 1989), h. 64
[5] Ibnu Madha’, Kitab al-Raddu ‘ala al-Nuhah, ditahqqiq oleh Syauqi Dhaif, (Dar al-Ma’arif, 1988), h.24
[6] Ibid. h. 35
[7] Syauqi Dhaif, Tajdid al-Nahw, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1982), h. 13
[8] Ibid, h.30
[9] Abd al-Muta’al al-Saidy, al-Nahw al-Jadid, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1947), h. 77

NASIB ASMARA BERBANDING LURUS DENGAN MUKA?

Ketika belum ada gawai, surat cinta menjadi primadona dalam menyampaikan pesan cinta. Waktu itu, meski hampir 250 kali membuat surat ci...