Minggu, 18 Desember 2011

PERIWAYATAN HADIS SECARA LAFAZ DAN MAKNA


 
A.    Pendahuluan

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat Islam. Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, pelbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadis.
Ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis dalam rangka upaya untuk memahami hadis dalam lingkup Ulumul Hadis[1]. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Salah satu cabang ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis adalah tahammul wa ‘ada’ul hadis. Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis[2]. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi tahamul dengan kegiatan menerima dan mendengar hadis[3]. Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadis dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Sedangkan ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadis. Menurut Nuruddin ‘Itr, ‘ada adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain[4]. Jadi ‘ada merupakan proses menyampaikan dan meriwayatkan hadis.
Dalam periwayatan hadis tersebut, menerima (tahammul) maupun menyampaikan (‘ada), ada yang dilakukan dengan lafzi atau ma’nawi. Lebih lanjut cara periwayatan hadis ini akan penulis bahas pada makalah ini, disertai dengan kedudukannya dalam periwayatan, apakah boleh atau tidaknya periwayatan ma’nawi, serta syarat yang harus dipenuhi dalam periwayatan ma’nawi.

B.     Pengertian Periwayatan Hadis

Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan[5]. Sesuatu yang di riwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat[6].
Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan[7]. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya[8].
Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
  1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan   rawi (periwayat)
  2. Apa yang diriwayatkan
  3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
  4.  Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
  5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).

C.     Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi[9].
Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW[10].
Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:
من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti  yang ia dengar, maka ia telah selamat[11]

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:
1.                                                                                                              سمعت  (Saya mendengar)
Contoh:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)

2.                                                                                                              حدّثنى  ( ia menceritakan kepadaku)
Contoh:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.”

3.                                                                                                              أخبرنى  (Ia memberitakan kepadaku)
4.                                                                                                              رأيت  (Saya melihat)
Contoh:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)

Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.

D.    Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna[12].
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu[13].
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna[14].
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32  H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam[15].
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
a.       Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
b.      Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis
c.       Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya[16].

Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:
جَائَتْ اِمْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ نَفْسَهَالَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقاَلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اَنْكِحْنِيْهَا وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ غَيْرَ بَعْضِ الْقُرْآنِ فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ وفىرواية, مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ (الحديث)

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.(Al-Hadis)

E.     Hukum Periwayatan Hadis secara Makna

Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan hadis secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis. Sedangkan setelah pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh adanya periwayatan hadis secara makna[17].
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis dengan maknanya sekali-kali.
Sedangkan jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan hadis secara makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-lafaz hadis dengan catatan bukan hadis yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah[18].
Ulama-ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila ia seorang yang menguasai ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafaz-lafaz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar dari gurunya.
Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna.
Apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila lupa lafaznya, khawatir apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk golongan yang menyembunyikan hadis.
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadis harus memakai kata-kata كما قال dan شبهه serta yang serupa dengannya.
Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan maknanya itu sebagai berikut:
1.    Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan ushuliyyin.
2.    Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
3.     Diperbolehkan, baik hadis itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadis itu tidak menyalahi lafaz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hads itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4.    Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafaz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5.    Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafaz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafaz dengan murodif-nya.
6.    Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadis mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a.       Hanya pada periode sahabat
b.      Bukan hadis yang sudah didewankan atau di bukukan
c.       Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut.

F.      Syarat–syarat  Periwayatan  Secara Makna

Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna.
Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1.      Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2.      Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
3.      Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.
4.      Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata اوكما قالatau او نحو هداatau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
5.      Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.
Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.

G.    Kesimpulan

Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :
1.    Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2.    Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa) disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara makna.
3.    Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
4.    Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna,     namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih diprioritaskan dan diutamakan.
5.    Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.
6.         Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan melakukan periwayatan secara makna.

Demikianlah makalah ini penulis buat, kritik dan saran dari pembaca merupakan sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.






DAFTAR PUSTAKA


Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushulul Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, 2001, Jakarta: Gaya Media Pratama
Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-Wa’I, 1984. Beirut: Dar al-Fikri.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Itir,  Nuruddin, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, 1997, Damaskus: Dar el Fikri
Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil Ma’na, Kuwait: Jami’ah Kuwait
Ma’luf, Luwis, al-Munjid  fi al-Lughah, 1973. Beirut: Dar  al-Masyriq
Munawwir, A.W, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia Terlengkap, 1997. Surabaya: Pustaka Progresif
Ritonga, A.Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, 2011. Yokyakarta: Interpena
Soetari, Endang, Ulumul Hadis, 1997, Bandung :Amal Bakti Press
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, 2006, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada



[1] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi  bil Ma’na, (Kuwait: Jami’ah Kuwait), h. 533
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h. 195
[3] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 200
[4] Munzier Suparta, op.cit, h. 196
[5] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Puataka Progresif, 1997), h.551
[6] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang), h.23
[7] Luwis Ma’luf, al-Munjid  fi al-Lughah, (Beirut:Dar  al-Masyriq,1973), h.289
[8] A.Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), h.178
[9] Munzier Suparta, Op. Cit, h.83
[10] Ritonga, A.Rahman, Op.cit.,h.179
[11] Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-Wa’I, (Beirut : Dar al-Fikri.1984), hal.127
[12] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Op Cit, h.24
[13] Luwis Ma’luf, Op.cit.
[14] Endang Soetari, Ulumul Hadis, (Bandung :Amal Bakti Press,1997), h.213.
[15] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah qablat-Tadwin, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h.126
[16] A.Rahman Ritonga, Op Cit, h.181
[17] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Op.cit., h.29
[18] Nuruddin Itir, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, (Damsiq : Dar el Fikri, 1997), hal.227

NASIB ASMARA BERBANDING LURUS DENGAN MUKA?

Ketika belum ada gawai, surat cinta menjadi primadona dalam menyampaikan pesan cinta. Waktu itu, meski hampir 250 kali membuat surat ci...