Minggu, 18 Desember 2011

Ibnu Thufail; Harmonisasi Wahyu dan Akal melalui Roman Hayy Ibn Yaqzhan

A.        Pendahuluan

Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan tuhan (tauhid) dan syariah, jauh sebelum filsafat Yunani ‘merasuki’ dunia Islam[1].  Begitu dominannya pandangan tauhid dan syariah ini, sehingga tidak ada suatu sistem pun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan tauhid dan pandangan syariah.
Meskipun demikian, bukan berarti umat Islam anti terhadap filsafat. Hal ini terbukti dengan lahirnya sejumlah filosof muslim yang memiliki independensi dalam alam berpikir tanpa tertawan oleh Platonisme dan Aristotelian[2]. Bahkan, filosof muslim mampu melakukan kritikan terhadap beberapa pandangan filosof-filosof Yunani tersebut serta memberikan solusi yang mencerahkan dunia pemikiran.
Masing-masing filosof muslim tersebut memiliki titik fokus dan cara berfilsafat yang menarik untuk dikaji. Di antaranya terdapat nama Ibnu Thufail. Filsof muslim yang satu ini berupaya menyajikan filsafat dalam bentuk yang unik. Melalui sebuah roman alegoris, ia mencoba menampilkan materi filsafat yang cenderung ‘pelik’ dipahami oleh sebagian orang. Ia wujudkan filsafat dalam bentuk sebuah karya yang ringan sehingga dapat dibaca di ruang keluarga saat beristirahat dari rutinitas sehari-hari. Hayy ibn Yaqzhan, itulah roman Ibnu Thufail yang monumental yang masih dapat kita nikmati sampai saat sekarang.
Pada makalah ini, penulis akan menyajikan tentang pemikiran Ibnu Thufail melalui roman Hayy Ibn Yaqzhan. Diawali dengan biografi dan disertai dengan hikmah yang terdapat dalam roman Hayy Ibn Yaqzhan.

B.        Biografi Ibnu Thufail

Nama lengkap ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Thufail. Ia lahir pada tahun 506H/1110M di Wadi Asy (Guadix), provinsi Granada, Spanyol. Dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer[3].
Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan sastrawan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut.
Pada tahun 549H/1154M, Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Sabtah (Cueta) dan Thanjah (Tangier) yaitu Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558H/1163M – 580H/1184M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi (hakim)[4].
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Ya’quf Yusuf ini, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Di sisi lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat kepada seluruh warga. Sikapnya yang demikian menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault, sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”[5].
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578H/1182M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Sungguhpun demikian, ia tetap mendapatkan tempat tersendiri di hati Abu Ya’qub Yusuf, sehingga saat ia meninggal pada tahun 581H/1185M di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan di sana, khalifah hadir lansung dalam upacara pemakamannya[6].
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah yang dikirimkan kepada muridnya, sehingga tidak banyak dikenal orang. Namun karyanya yang terpopuler dan masih dapat ditemukan sampai sekarang adalah risalah Hayy Ibnu Yaqzhan (Si Hidup anak Si Sadar), yang judul lengkapnya Risalah Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asraril Hikmatil Masyiriqiyyah. Risalah ini ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M)

C.        Risalah Hayy Ibn Yaqzhan

Risalah Hayy Ibn Yaqzhan merupakan uraian terhadap rahasia-rahasia filsafat timur. Seperti yang diungkapkan dalam muqadimah risalah: “Saudaraku yang mulia dan tulus engkau memintaku untuk dapat memaparkan rahasia-rahasia kearifan Filsafat Timur, di antaranya yang pernah diajarkan oleh sang Mahaguru Abu Ali Ibnu Sina”[7].
Kisah Hayy Ibn Yaqzhan diawali dengan dua versi yang berbeda. Pertama, versi yang menolak gagasan swa-lahir (at-Tawallut adz-Dzati). Versi ini mengawali bahwa Hayy dilahirkan dari seorang ibu yang merupakan adik dari seorang raja. Kerabat raja bernama Yaqzhan diam-diam menikahi adiknya. Adik sang raja pun mengandung benih hasil pernikahan dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Karena pernikahan dan anaknya diketahui pihak raja, maka akhirnya bayi itu dibuang ke laut. Dan akhirnya terdampar ke pantai pulau seberang yang bernama Waqwaq setelah hanyut oleh ombak yang pasang.
Versi kedua, mereka yang berpendapat bahwa Hay Ibn Yaqzhan terlahir dari bumi, atau yang mendukung gagasan swa-lahir. Mereka mengatakan di dalam perut pulau itu terdapat lempung yang sudah berfermentasi sangat lama dan sangat besar. Sehingga bagian lempung itu berkualitas dan berpotensi dalam keseimbangan suhu yang akhirnya mempunyai kesiapan untuk membentuk gamet.
Dari situlah tercipta sebuah embrio yang mengalami perkembangan dan berevolusi sebagai tubuh yang terisi oleh ruh Tuhan. Akibat dari penyinaran yang seimbang maka seorang bayi tumbuh dan lahir. Selanjutnya, seekor rusa menemukan bayi itu dan merawatnya dengan kasih sayang seperti anaknya sendiri.
Penulis akan menyuguhkan kisah ini menjadi beberapa fase sebagaimana Ibnu Thufail menceritakannya. Fase pertama, Hayy Ibn Yaqzhan hidup dan beraktivitas mengikuti ibunya. Umur dua tahun Hayy mulai dapat melihat perbedaan antara sang rusa dengan dirinya. Seperti adanya bulu, cakar, dan sebagainya yang ada pada sang rusa. Dalam fase ini ia mulai membuat petutup aurat dengan dedaunan. Belajar menirukan suara-suara rusa, membuat tongkat untuk perlindungan dirinya dari serangan binatang lain.
Sampai pada saat sang rusa meninggal, Hayy mulai penasaran dengan kejadian itu. Ia mulai menyelidiki akibat kematian ibunya. Ia membedah tubuh sang rusa dan meyelidiki penyebab kematian. Ia mengenali organ-organ di dalam tubuh rusa tersebut dan mengetahui bahwa kematian itu secara badaniah disebabkan berhentinya denyut jantung.
Fase kedua, Hayy menemukan api yang menyala-nyala. Ia akhirnya tahu fungsi api sebagai penerang dalam guanya, penghangat tubuh, dan pencipta makanan-makanan lezat. Sampai ia mengetahui panas api itu juga ada dalam tubuh ketika ia teringat membedah tubuh ibunya. Ia mulai meneliti lagi organ-organ tubuh dan didapatkannya ada saling keterkaitan antara organ satu dan lainnya sekaligus mengetahui fungsinya. Ia menyimpulkan adanya ruh hewani dalam setiap tubuh. Tingkat pengetahuan ini dicapai oleh Hayy remaja dalam usia 21 tahun.
Fase ketiga, bermula ketika ia sudah menjadi seorang pemuda, mencapai kedewasaan dan telah memiliki keahlian dalam bertahan hidup. Ia terus melakukan pengamatan terhadap alam sekitarnya. Ia memahami adanya perbedaan terhadap hewan-hewan serta spesiesnya, memahami benda-benda disekitarnya yang mempunyai fungsi berbeda-beda. Akhirnya ia dapat menyimpulkan ada kesamaan esensi dengan benda-benda tersebut. Ada yang kuat dan ada yang lemah. Ia meneliti segala yang hidup dan akhirnya mengerti sebab dan asal kehidupan. Fase ini berakhir ketika ia berumur 28 tahun.
Fase keempat, ia tidak lagi mengamati benda-benda di sekitar, melainkan mengalihkan pengamatan pada benda-benda samawi. Si pemuda Hay Ibn Yaqzhan melihat angkasa yang berisi bintang-bintang sebagai benda. Sebab mereka membentang dalam tiga dimensi, panjang, lebar dan tinggi. Pengamatan dan intuitifnya semakin tajam. Ia memahami aktivitas alam beserta keteraturannya. Pengetahuannya tentang kosmos alam ini menggiring Hayy pada pengetahuan tentang kekekalan dan kebaruan alam semesta.
Fase kelima, pada saat Hayy berumur 35 tahun, ia sampai pada kesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang terpisah dari badan, dan keduanya mempunyai karakter yang berbeda. Dia terus meningkatkan perenungannya dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan jiwa adalah ketika ia mampu menyaksikan sang pencipta (khaliq). Mengetahui jiwa bersifat abadi dan keabadiannyalah yang dapat bertemu sang Pencipta. Di dalam kalbunya sudah tertanam pengetahuan tentang sang Khaliq. Ia pun mengacuhkan segala pengetahuan empiris kecuali jejak-jejak yang ada pada materi-materi tersebut.
Fase keenam, Hayy sampai pada pemahaman tentang eksistensi wujud tertinggi yang kekal dan tak ada sebab bagi wujudnya namun menjadi sebab wujud segala sesuatu. Ia merenungkan segala panca indranya yang didapatinya selalu mempersepsikan benda-benda materi. Dengan mengerti bahwa yang Wajib Wujud terlepas dari benda materi mana pun. Oleh sebab itu, Dia bisa dilihat dengan sesuatu nonmateri. Ia mendapati dirinya mempunyai esensi, yang merupakan immaterial. Dan hanya dengan esensi inilah ia dapat terus memikirkan tentang yang Wujud sempurna.
Fase ketujuh, Hayy berusaha untuk menghilangkan esensi dan keakuan dirinya. Menghilangkan bayangan-bayangan duniawi dan terus menuju pada sang Khaliq. Akhirnya dengan ketajaman dan kegigihannya dalam perenungan ia mendapatkan suatu kondisi dimana ia merasakan ketiadaan dirinya, tenggelam dalam fana’. Hayy mendapatkan maqamnya, dimana ia dapat meliahat sang Khaliq. Dia terus menjalani mujahadah dan tenggelam dalam kefanaan yang tiada tara.
Selanjutnya Hayy terus menerus menjalaninya, hingga ia merasa sangat mudah untuk mencapainya. Sehingga ia bisa mencapai maqam ekstatisnya kapan pun ia mau dan dapat meninggalkannya sewaktu ia memenuhi kebutuhan fisiknya. Disinilah kesempurnaan pengetahuan sejati didapat.
Ia ingin tetap berada dalam maqam yang dicapainya sampai benar-benar tidak merasakan eksistensi dirinya. Ia terus melakukan itu hingga memperoleh pengetahuan tentang esensi dirinya yang tidak lain adalah esensi Tuhan. Semua itu dapat diperoleh hanya melalui penyinaran cahaya dari-Nya.
Hingga akhirnya Hayy bertemu dengan Absal, seorang ahli tasawuf dari pulau seberang, yang sedang mencari hakikat agama dalam perenungan. Setelah akhirnya Hayy dan Absal berteman, keduanya menemukan kecocokan dalam memahami makna hidup. Absal pun semakin yaqin atas aqidah yang selama ini ia pegang teguh.

D.        Analisa Pemakalah
1.      Tahapan-tahapan Pemikiran Hayy Ibn Yaqzhan
Setelah memaparkan secara ringkas kisah Hayy di atas, penulis merangkum bahwa setidaknya terdapat tiga tahapan dalam pencarian Hayy. Diawali dengan perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup, hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu, yaitu dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya. Tahapan ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris.
Pengetahuannya pada tahap ini masih terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan pengamatan yang sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, ia semakin berusaha meningkatkan pengetahuannya. Memori-memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika ia memahami fungsi dan kegunaan api. Ia mampu mengingat kesan pengalamannya lalu mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang didapat.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati benda-benda angkasa dengan segala siklus yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan deduktif.
Di sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang sangat kental. Pengetahuannya tentang alam dengan segala keberagamannya, pengetahuan tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya. Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
Tahapan kedua dari pemikiran Ibnu Thufail yaitu tahapan pemikiran filsafat rasionalis. Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada tahapan ini ia mendalami pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika ia telah memahami bahwa alam ini ada permulaannya, alam ini adalah sesuatu yang baru. Maka dari itu ada suatu proses dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar sifat yang diadakan.
Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hayy ibn Yaqzhan mewakili pemikiran Ibnu Thufail tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai pada pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja.
Maka hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa mencapai derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat indrawi”. Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi. Selain itu, ini sebagai hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran yang sering dipertentangkan, yaitu pemikiran filsafat dan pemikiran tasawuf. Dua aliran utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi ternyata keduanya dapat dipertemukan kembali.

2.      Harmonisasi Agama dan Filsafat
Dalam karya Ibnu Thufail “Hayy Ibnu Yaqzhan” juga terdapat pemikirannya, dimana ia ingin menunjukkan adanya harmonisasi antara agama dan filsafat intuitifnya. Dua disiplin yang sering kali dipertentangkan oleh para sarjana hingga kini. Penjelasan diatas dapat dipahami ketika Hayy Ibn Yaqzhan bertemu dengan Absal, orang yang beragama dan ingin memahami agama dalam makna esoterisnya.
Dalam kehidupan Absal sebelumnya, dia melihat agama yang dijalankan masyarakat hanya dalam taraf ritual formal belaka. Dan hanya ditujukan agar kehidupan mereka didunia lebih baik. Dengan bertemu Hayy, Absal mempunyai keyakinan kuat bahwa agama juga harus dipahami sebagaimana ta’wil nya. Agar masyarakat tidak terjebak dalam kecintaan duniawi.
Begitu penting pemahaman antara keduanya. Filsafat merupakan suatu pemahaman akal secara murni atas kebenaran dalam kosep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, serta tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Agama melukiskan dunia atas dengan lambang-labang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan, dan gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah difahami oleh orang lain, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan moralitas[8].
Filsafat yang menggunakan persepsi rasa, nalar, dan intuisi sebagai dasar-dasarnya, dapat menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imajinasi murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu.
Seperti pendapat Sohier el-Kalamawy dan Mahmoud Ali Kahky (1986) bahwa Ibnu Thufail bertujuan perenungan yang murni rasional dan iman yang sejati merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama, dan keduanya dapat membawa manusia dekat dengan Tuhan dan bersatu secara mistikal dengannya. Oleh karena itu keduanya harus dipelajari dan dipahami secara bersamaan.

3.      Pengaruhnya Terhadap Dunia Sastra
Diantara karya Ibnu Tufail, hanya Risalah Hayy ibn Yaqzan sajalah yang masih ada sampai sekarang. Karya tersebut merupakan suatu roman filsafat pendek, tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap generasi berikutnya sehingga karya tersebut dianggap sebagai salah satu buku paling mengagumkan dari zaman pertengahan. Mengenai metodenya, ia bersifat filosofis sekaligus mistis.
Ia menyatukan kesenangan dan kebenaran dengan jalan menggunakan imajinasi dan intuisi untuk membantu akal, dan daya tarik khusus inilah yang menjadikannya termasyhur dan mendorong orang untuk menerjemahkannya kedalam bahasa-bahasa lainnya. Bahkan sampai sekarang minat dunia terhadap karyanya belum hilang. Edisi bahasa Arab baru-baru ini dari Ahmad Amin, yang diikuti terjemahan bahasa Parsi dan Urdu pada dasawarsa yang sama, cukup menjadi bukti bahwa karya Ibnu Tufail tak kalah memikat bagi dunia modern, sebagaimana ia memikat dunia pada zaman pertengahan.
Karya Ibnu Thufail ini bukan saja mempengaruhi perkembangan sastra Arab dan pemikiran Islam, tetapi juga secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi banyak sastrawan dunia. Diantara karya penulis dunia yang dipengaruhi olehnya ialah El Critican (si pengritik), karya penulis panyol Abad 17 bernama Baltazar Gracian. Karya lainnya, Robinson Cruso karya Daniel Defoe (1661-1731 M), Gullivers Travels karya Jonathan Swift (1667-1745 M) dan Jungles Books karya Rudyard Kipling (1856-1936 M)[9]

E.        Pemikiran Ibnu Thufail

1.      Metafisika (ketuhanan)
Tuhan menurut Ibnu Thufail adalah pemberi wujud pada semua makhluk. Untuk membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen, yaitu:
a)      Argumen Gerak (al-Harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu (hadist), berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian menjadi ada. Oleh karena itu berarti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada yang disebut dengan Allah. Tapi bagi orang yang menyakini alam kadim, alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada, gerak alam ini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir, karena zaman tidak mendahuluinya (tidak didahului oleh diam) adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya penggerak

b)      Argumen Materi (al-Madat)
Argumen ini, menurut Ibnu Thufail dapat membuktikan adanya Allah, baik yang menyakini alam qadim maupun hadisnya. Dalam hal ini Ibnu Thufail mengemukakan pokok pikirannya yang terkait antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
1)      Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk;
2)      Setiap materi membutuhkan bentuk;
3)      Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak;
4)      Segala yang ada (maujud) untuk berseksistensi membutuhkan pencipta.
Dengan argumen di atas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini, Ia Maha Kuasa, bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.

c)      Argumen al-Gayyat dan al-Mayyat
Pada argumen ini pernah dikemukakan oleh al-Kindi dan Ibn Sina, bahwa segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu dan merupakan inayah dari Allah

2.      Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahului oleh zaman (taqaddum zamany), dilihat dari esensinya alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah (illat).
Pandangan menurut Ibnu Thufail ini merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang meyatakan alam baharu

3.      Jiwa
Menurut Ibnu Thufail jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi martabanya. Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu  jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan juga bukan sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian) jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail jiwa terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-Nafs al-Hayawaniyyah), kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya, yaitu jiwa manusia (al-Nafs al- natiqat)

4.      Epistimologi
Dalam epistimologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Menurutnya ma’rifat di lakukan dengan dua cara, yaitu:
a)      Pemikiran/renungan akal, seperti yang dilakukan para filsuf muslim;
b)      Kasyf ruhani (tasawwuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kamu sufi. Ma’rifat kasyf ruhani ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan ruhani dengan penuh kesungguhan

5.      Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama
Melalui roman filsafat hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Dalam hal ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris. Kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.

F.         Penutup
1.      Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis ingin memberikan apresiasi terhadap Ibnu Thufail atas karya monumentalnya dalam roman Hayy Ibnu Yaqzhan. Tidak mudah melakukan independensi pemikiran dalam pengaruh pemikiran para pendahulunya. Inovasi dalam menampilkan sesuatu yang baru inilah yang layak dijadikan patronase sebagai akademisi muslim.
Pembuktian eksistensi membutuhkan untuk tampil beda, namun tentu mengedepankan kualitas. Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Thufail sehingga romannya sampai sekarang ada di hadapan kita.
Inovasi dan kreatifitas dalam berkarya menjadi titik fokus penulis dalam menyimpulkan rekam jejak Ibnu Thufail dalam Romannya Hayy Ibnu Yaqzhan.


2.      Saran
Ibnu Thufail telah menginspirasi kita untuk membuat sesuatu yang bermakna, tidak hanya saat ia hidup, malahan berabad-abad setelah ia meninggal. Semestinya ada di antara kita yang mampu mengikuti langkahnya, bahkan mampu menandinginga.
Mengakui keterbatasan ilmu penulis dalam menyerap makna yang terdapat dalam roman Hayy Ibnu Yaqzhan membuat makalah ini belum sempurna. Kritik dan saran pembaca menjadi salah satu jalan menuju kesempurnaan itu.






DAFTAR PUSTAKA

Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. 1986. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ghallab, Muhammad. Al Ma’rifah Inda Mufakkiri al Muslimin, t.t . Kairo: al Daar al Mishriyah.
Kartanegara, Mulyadhi. Masa Depan Filsafat Islam. 2006. Jakarta: Paramadhina Press.
Mustofa, Filsafat Islam, 1997. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Okley, Simon. The History of Hayy bin Yaqzan by Abu Bakar ibnTufail, t.t . New York: Frederick A. Stoke Company Publisher.
Thufail, Ibnu. Riasalah Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asraril Hikmatil Masyriqiyyah, (t.t)
Zainal Hamdi, Ahmad. Tujuh Filsuf Muslim. 2004. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam. 2007. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.



[1] Mulyadhi Kartanegara, Masa Depan Filsafat Islam, (Jakarta: Paramadhina Press, 2006), h.10
[2] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 5
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 205
[4] Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2004), h. 75
[5] Sirajuddin Zar. Op. Cit, h. 206
[6] Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 272
[7] Ibnu Thufail, Riasalah Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asraril Hikmatil Masyriqiyyah, (t.t) h. 4
[8] Muhammad Ghallab, Al Ma’rifah Inda Mufakkiri al Muslimin, (Kairo: al Daar al Mishriyah, t.t), h. 302
[9] Simon Okley, The History of Hayy bin Yaqzan by Abu Bakar ibnTufail, (New York: Frederick A. Stoke Company Publisher, t.t.), h. 441

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NASIB ASMARA BERBANDING LURUS DENGAN MUKA?

Ketika belum ada gawai, surat cinta menjadi primadona dalam menyampaikan pesan cinta. Waktu itu, meski hampir 250 kali membuat surat ci...